Posted by : Syahrin Kamil Jumat, 22 Februari 2013



SOSIOLOGI KESEHATAN

BAB I
I LAYANAN KESEHATAN DAN TANTANGAN PERUBAHAN SOSIAL
· Pelayanan kesehatan sebagai dimensi stratifikasi
Penstratifikasian pennduduk bukan hanya peda peranan mereka dibidang ekonomi tetapi
criteria lainnya adalah berdasarkan latar belakang pendidikan, pemilikan rumah, pemilikan alat
transportasi, dan juga pelayanan kesehatan ( Miller dan Roby, 1970 ).
Pelayanan dibidang kesehatan merupakan salah satu dimensi stratifikasi yang tidak dapat
dipengaruhi kaum kapitalis. Dalam kedokteran Amerika dikenal dua sistem kelas ( Kosa dkk,
1969 ; Waiztkin, 1971 ). Orang berpenghasilan rendah yang sulit mendapatkan kesejahteraan
dibidang kesehatan dan orang kaya yang dengan mudah mendapatkan pelayanan yang baik dan
berkelas dibidang kesehatan.
· Stratifikasi dalam sistem kesehatan
Setidaknya terdapat tiga dasar stratifikasi dalam institusi kedokteran yaitu :
1. PROFESIONALISME : ( Freidson, 1970a : 45 ) orang – orang yang terlatih dalam
profesi tertentu, yang memiliki keahlian untuk menilai aspek – aspek tehnik
kedokteran. Karena adanya otonomi ini maka dokter dapat mendominasi pembagian
kerja dalam bidang kedokteran, wewenang tersebut dapat diperluas pada
aspek–aspek social, ekonomi dari pelayanan kesehatan. Wewenang yang dimiliki
dokter pada umumnya didasarkan atas pertimbangan rasional (Weber, 1964 : 324 –
429 )
2. ELITISME : elitisme dibidang kedokteran membuat para dokter mengambil
pendidikan spesialisasi, dan juga bekerja pada rumah sakit yang biasanya telah
dipenuhi oleh tenaga ahli, sehingga rumah sakit yang seharusnya membutuhkan
tenaga ahli malah tidak memperolehnya. Implikasi elitisme meluas sehingga
akibatnya mereka cenderung bekerja untuk rumah sakit – rumah sakit besar. Dan
sebaliknya bagi dokter – dokter yang tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
pendidikan spesialisasi yang bekerja pada tempat yang jauh menyebabkan  kualitas
pelayanan mereka buruk pada pasien.
3. KETERBATASAN KOMUNIKASI DAN STRATIFIKASI MEDIS : ( stratifikasi
dan penyembunyian informasi ) adanya jurang kompetensi merupakan suatu sumber
stratifikasi dalam bidang kesehatan, ketidak tahuan pasien merupakan salah satu
potensi pemerasan, Freidson mengatakan bahwa posisi khusus dokter akan terancam
bila tindakan dan keputusannya harus jelas dan dibenarkan oleh pasien. Desakan
untuk mempercayai merupakan cara agar pasien pasrah saja pada dokter, ini
memungkinkan dokter mempertahankan bahwa merekalah yang berwenang dalam
pengetahuan tersebut. Kemampuan dokter dalam mengotrol dan memanipulasi inilah
yang bertentangan dengan hubungan dokter – pasien.
· Ketidakpastian pasien dan kekuasaan dokter
Untuk menjelaskan dokter mempertahankan ketidakpastian pasiennya, perlu
dipertimbangkan teori tentang sumber kekuasaan dokter : bahwa kemampuan dokter untuk
mempertahankan kekuasannya terhadap pasien dalam hubungan dokter – pasien tergantung
pada kemampuan dokter itu dalam mengontrol ketidakpastian pasien.
Dalam suatu pembahasan tentang fungsi social dari ketidaktahuan, Moore dan Tumin
mengemukakan bahwa ketidaktahuan konsumen terhadap suatu pelayanan khusus dapat
membantu melindungi posisi dari pemberi pelayanan. Implikasi disini adalah bahwa posisi
spesialis mungkin dalam bahaya bila pasien menjadi dokter ( Moore dan Tumin, 1949 : 789 ).
· Penyuluhan pada orang lain dalam keadaan terpaksa
Mengingat stratifikasi medis ada kaitannya dengan ketidaktahuan, maka perubahan
dalam sistem kesehatan memerlukan perubahan dalam penyampaian informasi. Proses
penyampaian informasi haruslah dilakukan jujur, terperinci, dan berorientasi manusiawi
sangatlah penting pada penyuluhan, karena pasien biasanya jarang meminta informasi
terperinci dari dokter dan mereka jarang meminta dokter untuk melakukan sesuatu, serta
jarang menyatakan sesuatu agar diperhatikan dokter ( Cartwright, 1957 : 223 ).
Freire membahasnya dalam konteks penyuluhan didunia ketiga sebagai berikut : “
masalah yang dihadapi dalam penyuluhan atau pendidikan adalah mengatasi dominasi pada
manusia agar terdapat emansipasi, masalah yang dihadapi dalam penyuluhan bukan, dan tidak
dapat dilakukan dengan paksaan ( 1970 : 74, 128 ) ”.

· Peran pendidik kesehatan terhadap perubahan perilaku
 Menurut Blum (1974), perilaku itu lebih besar perannya dalam menentukan
pemanfaatan sarana kesehatan, dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri.
Pengalaman menunujukan bahwa penyediaan dan penambahan sarana pelayanan tidaklah selalu
diikuti oleh peningkatan pemanfaatan sarana sarana tersebut. Misalnya, beberapa studi
menunjukan bahwa puskesmas dan posyandu di daerah daerah tertentu tidaklah dimanfaatkan
secara optimal (ministry of health, 1987; rasyid, dkk, 1988; sitohang & adi, 1989). Oleh
karena itu jika kita menginginkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat maka kita harus
bersedia dan mampu mengubah perilaku masyarakat.
· Perubahan sosial yang terjadi
berdasarkan lingkungan eksternal yang berubah menuntut perubahan mind-set tenaga
kesehatan yaitu :
1. Globalisasi dan teknologi manusia,
2. Keadaan hiperkompetitif, terutama di perkotaan,
3. Enam belas juta warga Indonesia berstandar sama dengan kelas atas penduduk
Singapura,
4. Pemain asing yang efisien, reputasi tinggi, berpengalaman, dan dipersepsi excellent,
5. Konsumen makin cerdas dan tercerahkan, serta
6. Tuntutan dokter lebih bisa diakses, terutama oleh menengah ke bawah .
Pengertian perubahan sosial menurut beberapa tokoh diantaranya adalah sebagai berikut
:
1. Selo Soemarjan. Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku diantaranya
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2. Kingsley Davis. Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat.
3. Gillin. Perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah
diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material,
komposisi penduduk, ideology, maupun karena penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat.
Proses-proses pada perubahan sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu antara
lain :
1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat
mengalami perubahan yang terjadi secara lambat ataupun cepat.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan
perubahan- perubahan pada lembaga sosial lainnya.
3. Perubahan-perubahan sosial secara cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang
bersifat sementara karena berada dalam proses penyesuaian diri.
4. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual
saja karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik yang sangat kuat.
Secara tipologi perubahan-perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai :
1. Suatu proses sosial, baik yang terkait dengan struktur maupun personil.
2. Segmentasi, yaitu ketika ada pemisahan dalam struktur dan/atau perbedaan kualitas
dari setiap unit.
3. Perubahan struktur
4. Perubahan dapat terjadi pada perubahan struktur kelompok. Misalnya komposisi dan
hubungan antar kelompok.
Sumber dari sebab-sebab perubahan sosial terletak di dalam dan luar masyarakat.
Sebab-sebab yang bersumber dari dalam msayarakat antara lain bertambah atau berkurangnya
penduduk, adanya penemuan-penemuan baru yang ada dalam masyarakat, adanya
pertentangan (konflik) masyarakat yang mungkin pula menjadi sebab terjadinya perubahan
sosial dan kebudayaan, serta terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat antara lain yang berasal dari lingkungan
alam fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan, dan  pengaruh kebudayaan masyarakat
lain.
Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan yaitu:
a. kontak dengan kebudayaan lain
b. sistem pendidikan formal yang maju;
c. sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju;
d. toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang (deviation) yang bukan
merupakan delik hukum;
e. sistem lapisan terbuka masyarakat yang memungkinkan adanya gerak sosial vertikal
yang 1uas atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju atas dasar
kemampuan sendiri
f. penduduk yang heterogen;
g. ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu;
h. berorientasi ke masa depan;
i. nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki kehidupannya.
Ibnu Khaldun seorang sosiolog Arab yang melukiskan bahwa peradaban manusia
berkembang dalam lima tahap, yaitu :
a. tahap nomaden yang kemudian menghancurkan seluruh penentangnya dan mendirikan
kerajaan baru,
b. tahap konsolidasi kekuatan dengan tujuan memperkokoh pengendalian atas kawasan
yang baru dikuasai,
c. tahap kesenangan dan kesentosaan, yang ditandai dengan kemewahan material dan
kebudayaan lainnya,
d. tahap kedamaian berlanjut sehingga menjadi sebuah tradisi baru, dan
e. tahap kehancuran yang dimulai dari hura-hura, pemborosan, dan kehilangan simpati.
Pitirim Sorokin ilmuwan Rusia, mengembangkan teori bahwa perubahan sosial terjadi
dalam tiga tahap, yaitu :
(1) peradaban ideasional (ideasional culture), yaitu menekankan pada aspek spiritual dan
nonmaterial,
(2) peradaban idealistik (idealistic culture), yaitu peradaban yang memadukan antara nilai
adikodrati dengan fakta yang ada, dan
(3) peradaban indrawi (sensation culture), yang menekankan pada aspek fisik material
Dalam proses perubahan sosial, ada beberapa tahapan perubahan sosial yang potensial
terjadi di masyarakat antara lain sehagai berikut.
a. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dan individu kepada individu
lain serta dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Ada dua jenis difusi, yaitu difusi
intra-masyarakat (intro-society diffusion) dan difusi antarmasyarakat (inter-society
diffusion).
b. inovasi
Inovasi adalah proses pembaruan dan pengunaan sumber-sumber alam, energi dan
modal, serta penataan kembali dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru
sehingga terbentuk suatu sistem produksi dari produk-produk baru.
c. Akulturasi
Proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dihadapkan dengan
unsur-unsur suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun
diterima dan diolah dalam kebudayaan itu sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu.
d. Asimilasi
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif
sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu
masing-masing berubah menjadi unsur kebudayaan campuran.
Pelayanan prima menjadi satu tuntutan penting bagi seorang dokter di era modern. Tidak
sederhana untuk mewujudkan tenaga kesehatan yang bijak, apalagi menunjuk siapa dan
bagaimana tenaga kesehatan yang bijak itu. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan yang
bijak adalah
(a) memiliki pengalaman pendidikan kesehatan,
(b) kompeten dalam melaksanakan praktik kesehatan yang bermutu dan manusiawi (good
clinical practice), serta
(c) menerapkan sistem dan cara pelayanan kesehatan yang bermutu serta beretika (good
clinical governance).
Dengan rumusan seperti itu maka tuntutan masyarakat terhadap pentingnya good and
clean clinical govemance menjadi sangat penting untuk dilakukan para penyelenggara
pelayanan kesehatan. Aspek kedua, yaitu adanya upaya dan kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang efektif. Mungkin benar, dalam pelayanan kesehatan negara asing banyak yang
sudah rnenggunakan teknologi modern.  Namun, teknologi modern bukanlah penentu akhir
suatu kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, hal yang penting adalah bagaimana
melahirkan sumber daya manusia kesehatan yang mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang efektif.
Pada kenyataannya, dalam memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan
memuaskan ini. Adanya re-code terhadap tugas dan fungsi pelayanan kesehatan dalam
pemahaman awal yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan itu adalah menghilangkan gejala
penyakit. Pemahaman seperti ini sudah mulai ditinggalkan dan kini sudah mengarah pada
pelayanan kesehatan sebagai bagian dari proses pendidikan serta pembelajaran hidup sehat
kepada setiap anggota masyarakat. Di sinilah perubahan kode-kode peran dan fungsi
pelayanan kesehatan dilakukan. Artinya, seorang tenaga kesehatan dituntut untuk memberikan
pelayanan yang menyeluruh mulai dari gejala, penyebab, sampai pada efek penyakit itu sendiri.
Sehingga seorang pasien dapat benar-benar memiliki mutu hidup yang berkualitas.
BAB II
MENGENAL VARIASI  LAYANAN PENGOBATAN ALTERNATIF
 Dalam pengembangan pengobatan alternatif ada variasinya yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Variasi ini menunjukkan bahwa ada berbagai jenis pengobatan alternatif. Dengan
adanya ini akan memberikan wawasan mengenai keanekaragaman pengobatan alternatif yang ada di
indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya.
1.1  Pengobatan Alternatif Menurut Depkes RI
 Munculnya perkembangan pengobatan alternatif atau pengobatan tradisional (battra) ini
menurut depkes (departemen kesehatan) RI ada 16 jenis yaitu :
1. dukun bayi terlatih    9.   Battra sunat
2. battra pijat / urut    10.  Tabib
3. dukun bayi belum terlatih   11.  Tukang pangur gigi
4. tukang jamu gendong    12.  Battra tenaga dalam
5. battra ramuan      13.  Battra pijat refleksi
6. battra dengan ajaran agama/spiritual  14. Shinse
7. battra paranomal    15. Battra tusuk jari/akupresur
8. battra patah tulang    16. Aakupuntur
Dalam tahun 1989 dicantumkan 17 jenis battra-battra lain di Indonesia yang kemudian terus
meningkat dari waktu ke waktu.
1.2  Pengobatan Alternatif Menurut Agen Pengobatan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
 Dalam ensiklopedia jenis pengobatan alternatif dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. terapi energi
Akupresur, akupuntur, shiatsu, do-in, shaolin, qigong, t’ai chi ch’uan, yoga, meditasi, terapi
polaritas, refleksiologi, metamorphic technique, reiki, metode bowen, ayurveda, dan terapi
tumpangan tangan.
2. terapi fisik
Masase, aromaterapi, osteopati, chiropractic, kinesiology, rolfing, hellework, feldenkrais
method, teknik alexander, trager work, zero balencing, teknik relaksasi, hidroterapi, floatation
terapi, dan metode bates.
3. terapi pikiran dan spiritual
Psikoterapi, psikoanalisis, terapi kognitif, terapi humanistik, terapi keluarga, terapi kelompok,
terapi aitogenik, biofeedback, visualisasi, hipnoterapi, dreamwork, terapi dance moment, terapi
musik, terapi suara, terapi seni, terapi cahaya, biorhythms, dan terapi warna.
3 Pengobatan alternatif dari sistem pengorganisasian.
 Sebagaimana yang dituturkan Yuda Turana, pengelompokan jenis layanan pengobatan
tradisional di inggris menggunakan standar pengorganisasian yang dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu :
· Kelompok yang paling terorganisasi dan teratur seperi akupuntur, chiropractic,pengobatan
dengan herbal,dll. Pengelompokan ini mempunyai dasar penelitian.
· Kelompok pengobatan alternatif yang membutuhkan penelitian lebih lanjut namun sudah
digunakan sebagai pelengkap dalam sistem pelayanan kesehatan seperti hipnoterapi dan
aromaterapi.
· Kelompok pengobatan alternatif yang belum mempunyai data sam sekali seperti terapi dengan
kristal dan pendulum.
Sedang pada tahun 1998 Badan Konggres Amerika Serikat mendirikan The National Centre For
Complementary Alternatif Medicine (NCCAM) di Natoanal Institut of Health untuk pengembangan
penelitian mengenai pengobatan pelengkap dan alternatif (complementary and alternative medicine)
dengan misi yaitu memberikan informasi yang dapat dipercaya kepada masyarakat mengenai keamanan
dan khasiat CAM. NCCAM mengelompokkan metode pengobatan alternatif menjadi lima kategori
yaitu :
· Alternative medical system. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Sistem ini berkembang sebelum ditemukannya metode pengobatan konvensional misalnya
pengobatan ala pengobatan oriental seperti Ayurveda dan naturopaty.
· Intervensi pikiran tubuh ( mind-body intervention)
Contohnya yaitu meditasi, hipnotis, berdoa, dan mental healting.
· Biologikal-based treatment
Meliputi metode pengobatan alamiah dan biologi seperti ramuan herbal (tumbuhan), diet
khusus, dan orthomeleciler remedies.
· Manipulative and body-based method
Antara lain adalah chiropractic, dan osteopathic manipulative theraphy, terapi pijat (masage
teraphy).
· Terapi energi
Terapi ini menggunakan tenaga (energi) yang berasal dari dalam dan luar tubuh untuk
mengobati penyakit contohnya biofield hterapy (Qi Qong, Reiki, dan terapi sentihan) dan terapi
bioelektromagnetik.
4 Pengobatan alternatif kategori battra menurut WHO
 Menurut badan kesehatan dunia PBB yaitu WHO (world health organization) jenis pengobatan
alternatif yang dikembangkan dan dijadikan kajiannya dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu
pengobatan berdasarkan herbal dan terapi berdasrkan prosedur tradisional.
Yang termasuk ke dalam pengobatan  alternatif herbal dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis
yaitu :
· Herbal adalah pengguanaan bahan asli tanaman seperti bunga, buah-buahan, akar, atau bagian
lain dari tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan.
· Bahan-bahan tanaman termasuk jus segar, getah, minyak olahan, minyak asli, resin, dan
powder tumbuhan. Dibeberapa negara material-material tumbuhan tadi sudah ada yang diolah
dengan prosedur yang dikembangkan masyarakat lokal, penguapan (steaming), pemanggangan
(roasting), pencampuran dengan madu (stir-baking with honey), alkoholik, dan bahan lainnya.
·  Pengolahan herbal (herbal preparations), pengolahan tumbuhan yang didasarkan pada produk
tumbuhan yang sudah diselesaikan, atau beberapa produk pengolahan tanaman hasil dari ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
ekstrasi, pelarutan fraksianisasi, purifikasi, konsentrasi atau pengolahan  fisikawi, dan biologi
lainnya. Pengobatan ini termasuk pengolahan yang dicampur dengan madu, alkohol, atau yang
lainnya.
· Produk tanaman terakhir (finished herbal products). Yang termasuk kedalam jenis ini adalah
pengolahan bahan tanaman baik dari satu atau lebih dari jenis tanaman yang digunakan.
Sedangkan jenis pengobatan alternatif terapi dilandaskan pada prosedur tradisional adalah terapi
–terapi yang yang digunakan dengan teknik variasi, terutama yang tanpa menggunakan medikasi
misalnya akupuntur dan teknik-teknik yang t6erkait chiropractic, ostteopathy, manual therapies,
qigong, tai ji, yoga dan terapi fisik lainnya serta terapi mental, spiritual, matau terapi mind body.
5 Pengobatan Alternatif menurut Mengoenprasodjo-Hidayati
 Menurut Mengoenprasodjo-Hidayati ada lima jenis pengobatan alternatif yaitu :
· Terapi penyembuhan dengan pengobatan cina
Pengobatan ini berasal dan berkembang di negeri Tiongkok kemudian berkembangang di
berbagai pelosok negeri di dunia dalam aneka bentuk. Basis pengobatan ini dengan filsafat
yang melihat manusia sebagai mikrokkosmos dari jagat raya dan dan secara inheren  terhubung
dengannya, dengan alam dan seliruh kehidupan. Pengobtaan ini dikelompokkan menjadi lima
yaitu pengobatan dengan herbal, akupuntur dan akupresur, moksibasi atau pemanasan untuk
jenis pengobatan khusus, diet dan nutrisi, serta tui na atau pijat pengobatan cina.
· Terapi pengobatan dengan spiritual healing
Terapi ini bisa disebut dengan terapi rohani dengan ciri utama yaitu walaupun diakui ada biaya
pengobatan yang mahal, namun jenis pengobatan ini berupaya untuk pengobatan yang murah
dan mudah. Selain itu cirinya yaitu memiliki karakter keilmiahan mlai yang bisa dinalar sampai
yang kategori mistik.
· Terapi alternatif dengan menggunakan sunber bahan dari alam
Jenis terapi yang termasuk kategori ini yaitu aromaterapi, terapi energi bunga, terapi kristal,
terapi lilin, terapi energi piramida dan helioterapi.
· Pengobatan dengan memisahkan pembahasan antara pengobatan cina dengan terapi
penyembuhan dengan penekanan tubuh seperti terapi pijat, refleksiologi, shiatzu, dan
craniosacral terapi.
· Terapi refleksi, ketenangan jiwa dan penyeimbangan misalnya meditasi, yoga, terapi tertawa,
dan hot stone masage. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
6 Pengobatan alternatif Etnomedis
 Menurut Anderson dan Foster (1988) menyebutkan bahwa salah satu citi pengobatan
tradisional  adalah menunjukkan identitas budaya bangsa(nasionalisme). Berdasarkan sudut pandang
ini, pengelompokan pengobatan alternatif dapat dilakukan dengan menggunakan pengelompokan etnik
atau nilai budaya misalnya pengobtan cina, pengobtan arab, pengobatan yunani. Selain merujuk pada
kebangsaan juga dirujuk pada identitas kepercayaan misalnya pengobatan hindu, pengobatn islam,serta
pengobatan yang berlandaskan pada nilai-nilai kepercayaan/mistik.
7 Kategori Pengobatan Alternatif di Papua
 Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang papua secara mendalam dapat dianalisis
bagaimana cara-car pengobatan secara tradisional. Oleh karena itu dapat diklasifikasikan pengobatan
tradisional orang papua kedalam 6 pola pengobatan yaitu :
· Pola pengobatan jimat
Pola ini dikenal masyarakat didaerah kepala burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat.
Prinsip pengobtan ini menurut Elmberg yaitu menggunakan benda – benda kuat atau jimat
untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah
diberi kekuatan gaib sering tumbuh-tumbuhan yang yang berbau kuat dan berwarna tua.
· Pola pengobatan kesurupan
Pola ini dikenal oleh suku bangsa didaerah sayap burung yaitu daerah telik arguni. Prinsip
pengobatn ini menurut Van Longhem yaitu seorang pengobat sering kemasukan roh/ mahlik
halus pada waktu berusaha mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobtan
ini sangat kemtara seperti pada pengobtan jimat.
· Pola pengobatan pengisapan darah
Pola ini dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang aliran sungai Tor didaerah
Sarmi,marind-anim, kimaaan dan Asmat. Prinsip pola pengobatn ini menurut Oosterwal
adalah bahwa penyakit ini terjadi karena darah kotor maka dengan mengisap darah kotor itu
maka penyakit dapat disembuhkan.
· Pola pengobatn injak
Pola ini dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang sungai Tor didaerah Sarmi.
Prinsip pengobatan inimenurut Oosterwal adalah bahwa penmyakit ini terjadi karena tubuh
kemasukan roh maka dengan menginjak-injak tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
dilanjut ketubuh sampai akhirnya kepala maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat
dari dalam tubuh.
· Pola pengobatan pengurutan
Pola ini dikenal oleh suku bangsa yang tinggal didaerah selatan merauke yaitu bangsa asmat
serta selatan kabupaten jayapura yaitu suku bagnsa towe.Prinsip pengobatn ini menurut van
Amelsvoort adalah bahwa penyalit ini terjadi karena tubuh kemasukan roh maka dengan
mengurut seluruh tubuh si sakit akamn keluar roh jahat dari tubuhnya.
· Pola pengobatan ukup
Dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan kabupaten Jayapura berbatasan dengan
kabupaten jayawijaya yaitu suku bangsa towe, ubrub. Prinsip pengobatan ini adalah bahwa
penyakit terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilanh keseimbangn tubuh dan juwa, maka
dengan uap hasil dari ramuan daun-daun yang dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan
penyebab empiris penyakit.
Dari konsep sehat dan sakit menurut perspektif kebudayaan orang papua ada dua kategori yang
dikemukakan Anderson dan Foster berdasarkan lingkupo hidupnya yaitu kategori pertama memandang
konsep sehat-sakit bersifaat supranatural artinya melihat sehat-sakit karena adanya gangguan dari
suatu kekuatan yang bersifat gaib atau mahluk halus atau kekuatan gaib yang berasal dari manusaia.
Sedangkan kategori yang kedua adalah rasionalistik yaitu melihat sehat-sakit karena adanya intervensi
dari alam, iklim, air, tanah,Dan lainya serta perilaku masyarakat itu sendiri seperti hubungan sosial itu
sendiri yang kurang baik, kondisi kejiwaan dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia.
8 Pengelompokan Pengobatan Alternatif yang Lain
 Berdasarkan unsur-unsur agen yang digunakan dalam proses pemberian layanan pengobatan
atau layanan  kesehatan, pengobtan alternatif dapat dikelompokkan menjadi :
· Herbal-agency
Pengobtan alternatif menggunakan tanaman, baik bahan asli maupun olahannya (ramuan)
sebagai bahan pengobatan alternatif.
· Animal-agency
Pengobatan alternatif yang menggunakan hewan baik bahan dasar hewan, hasil, maupun
perantara sebagai bagaian dari hasil proses pelayanan pengobatan alternatif
· Material-agency ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Pengobatan alternatif yang menggunakan bahan-bahan material bumi sebagai bahan layanan
pengobatan alternatif misalnya tusuk jarum, air dan terapi kristal
· Mind-agency
Pengobatan alternatif yang mengguanakn kekuatan jiwa sebagai bahan layanan pengobatan
alternatif misalnya energi chi, prana dan spiritual
· Event-agency
Pengobatan alternatif yang menggunakan sifat,gejala, fenomena, peristiwa sebagai bahan
layanan pengobatan alternatif misalnya suara musik, warna,panas,dll.
· Manajemen-life agency
Pengobatan alternatif yang menggunakan hukum alam hidup sebagai bagian dari proses
pengobatan layanan alternatif
1.9 Deversifikasi dan Stratifikasi
 Dversifikasi tidak menunjukkan adanya status nilai dari jenis pengobatan alternatif.
Kendatipun benar, juga akan tercantum jenis-jenis pengobatan yang kurang mendapatkan perhatian
publik karena dianggap kurang ilmiah namun tetap bahwa keanekaragaman jenis pengobatan itu
merupakan sebuah fakta sosial yang harus diakui dan diapresiasikan keberadaannya.
BAB III
MODEL-MODEL PERUBAHAN PERILAKU KESEHATAN
Menurut sebagian psikolog, perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri
manusia dan dorongan itu merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada di dalam
diri manusia. Sementara itu , para sosiolog melihatnya bahwa perilaku manusia tidak bisa dipisahkan
dari konteks atau setting socialnya. Untuk sekedar contoh, dorongan dalam diri manusia untuk makan
bisa disebabkan rasa lapar. Pada konteks aktualnya, usaha manusia untuk makan ini menunjukkan cara
dan pola yang berbeda, sesuai dengan situasi sosialnya masing-masing. Pada konteks itulah, maka
dorongan pada diri dipengaruhi pula oleh setting social yang berkembang  di seputar individu tersebut.
Dengan demikian, perilaku manusia itu perlu dipahami dalam konteks yang lebih luas. Soekidjo
Notoatmojo dengan memerhatikan bentuk respons terhadap terhadap stimulus, membedakan perilaku
manusia menjadi dua bentuk, yaitu: a) perilaku tertutup (covert behavior), hal ini ditunjukkan dalam
bentuk perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan reaksi lainnya yang tidak tampak, b)perilaku ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
terbuka  (overt behavior) yaitudalam bentuk tindakan nyata, misalnya meminum obat ketika dirinya
merasa sakit.
Berdasarkan pandangan ini, maka yang dimaksud menurut perilkau kesehatan menurut
Soekidjo Notoatmojo bahwa perilaku kesehatan yaitu respon seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta
lingkungan. Dari definisi tersebut, kemudian dirumuskan bahwa perilaku kesehatan yaitu terkait
dengan: (1). Perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit, serta pemulihan dari penyakit; (2). Perilaku
peningkatan kesehatan; dan (3). Perilaku gizi (makanan dan minuman).
Pada pembahasan berikut, akan kita lihat berbagai model yang digunakan para peneliti dalam
mempelajari berbagai tipe perilaku kesehatan. Diantaranya: Model pengelolaan rasa sakit; Model
muchman; Model mechanic; Model anderson; Model keyakinan sehat; Model Kurt Lewin; Model
pengambilan keputusan. Masing-masing model yang dikemukakan berbeda, sesuai dengan pandangan
teori serta tipe perilaku namun menggunakan variabel-variabel yang sama.
1. Model Pengelolaan Rasa Sakit.
Menurut Daldiyono (2007: 16), tidak semua orang sakit memiliki penyakit. Suatu rasa
sakit bukan merupakan penyakit bila tidak mengganggu aktivitas dan fungsi pokok, misalnya:
makan, minum, buang air, tidur, dan aktivitas sehari-hari lainnya.
Sedangkan menurut Lehndorff, rasa sakit bisa dikelola baik untuk sekedar
pengendalian rasa sakit maupun untuk mencapai penyembuhan diri dari penyakit yang sedang
dideritanya. Dalam pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor utam yang
menunjang kemajuan derajad kesehatan pasien adalah keinginan dan kehendak yang besar
untuk mengalami kemajuan. Dalam pandangan Lehndorff dan Tracy (2005: xii) sikap optimis
itu dapat diwujudkan dengan: (a) yaitu memiliki rasa ingin menjadi lebih baik, (b) memiliki
harapan untuk menjadi lebih baik, (c) mau berusaha untuk menjadi lebih baik, dan (d) mereka
belajar metode-metode cepat untuk memotivasinya.
2. Model Suchman
Yang terpenting dalam model suchman adalah menyangkut pola sosial dari perilaku
sakit yang tampak pada cara orang mencari, menemukan, dan melakukan perawatan medis.
Pendekatan yang digunakannya berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor utama ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
dalam perilaku sakit, yaitu: (1) perilaku itu sendiri; (2) sekuensinya; (3) tempat atau ruang
lingkup; dan (4) variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan medis.
Arti keempat unsur tersebut dapat dikembangkan 5 konsep dasar yang berguna dalam
menganalisi perilaku sakit, yaitu: (1) mencari pertolongan medis dari berbagai sumber atau
pemberi layanan, (2) fragmentasi perawatan medis di saat orang menerima pelayanan dari
berbagai unit, tetapi pada lokasi yang sama, (3) menangguhkan (procastination) atau
menangguhkan upaya mencari pertolongan meskipun gejala sudah diasakan, (4) melakukan
pengobatan sendiri (self medication), (5) membatalkan atau menghentikan pengobatan
(discontuniti).
Menurut paradigma Suchman, sekuensi peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu:
(1) pengalaman dengan gejala penyakit; (2) penilaian terhadap peran sakit; (3) kontak dengan
perawatan medis; (4) jadi pasien; dan (5) sembuh atau masa rehabilitasi. Pada setiap tingkat,
setiap orang harus mengambil keputusan-keputusan dan melakukan perilaku-perilaku tertentu
yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tingkat permulaan terdapat 3 dimensi gejala yang
menjadi pertanda adanya ketidakberesan dalam diri seseorang. Pertama, adanya rasa sakit,
kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa dialami. Kedua, pengetahuan seseorang
tentang gejala tersebut mendorongnya membuat penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan
akibat penyakit serta gangguan terhadap fungsi sosialnya. Ketiga , perasaan terhadap gejala
tersebut berupa takut atau rasa cemas.
Suchman mengemukakan hipotesis bahwa perilaku medis yang terjadi pada setiap
tahap penyakit mencerminkan orientasi kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok
sosial.
3. Model Mechanic
Landasan pemikiran  model mechanic ini yaitu mengembangkan suatu model mengenai
faktor-faktor yang mempengarui perbedaan cara melihat, menilai serta bertindak terhadap
suatu gejala penyakit. Teori ini menekankan pada 2 faktor:
a. persepsi dan definisi oleh individu pada suatu situasi
b. Kemampuan individu melawan keadaan yang berat ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Kemudian model mechanic menggunakan 10 variabel yang menentukan perilaku
kesehatan, yaitu: (1) adanya penyimpanngan  dan gejala penyakit yang dirasakan dan dikenal,
(2) seberapa jauh gejala-gejala penyakit yang dipandang serius oleh seseorang, (3) seberapa
jauh gejala-gejala penyakit dapat dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan keluarga,
pekerjaan dan kegiatan-kegiatan sosial, (4) frekuensi terjadinya tanda-tanda penyimpangan
atau gejala penyakit, (5) jatah toleransi dari ornag yang menilai tanda menyimpang atau gejala
penyakit tertentu, (6) informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan, serta pandangan
orang yang menilai,(7) adanya kebutuhan pokok lain yang menimbulkan pengabaian atau
penolakan terhadap gejala tersebut, (9) adanya kompetisi terhadap berbagai kemungkinan
interaksi yang timbul setelah gejala penyakit diketahui, (10) sumber pengobatan yang tersedia
serta biaya yang harus dikeluarkan.
Dari pencermatan ini, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud perilaku sakit adalah
pola reaksi sosio—kultural yang dipelajari pada suatu saat ketika individu dihadapkan pada
gejala penyakit sehingga gejala-gejala itu akan dikenal, dinilai, ditimbang, dan kemudian dapat
bereaksi atau tidak bergantung pada definisi atau situasi itu.
4. Model Andersoon
Kerangka asli model ini yaitu menggambarkan suatu sekuensi (rangkaian) determinan
(factor yang menentukan) individu terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga
dan dinyatakan bahwa hal itu tergantung pada:
a. presdisposisi keluarga untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan, misalnya saja
variabel demografi (umur, jumlah, status perkawinan), variabel struktur sosial
(pendidikan, pekerjaan, suku bangsa), kepercayaan terhadap magis.
b. Kemampuan utnuk melaksanakannya yang terdiri atas persepsi terhadap penyakit serta
evaluasi klinis terhadap klinis.
c. Kebutuhan terhadap jasa pelayanan. Faktor presdisposisi dan faktor yang memungkinkan
untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai
kebutuhan.
5. Model Keyakinan Sehat
Model keyakinan sehat (health believe model) dikembangkan oleh Rosenstock. Empat
keyakinan utama yang didefinisikan dalam model HBM yaitu (1) keyakinan tentang kerentanan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
kita terhadap keadaan sakit, (2) keyakinantentang keseriusan atau keganasan penyakit, (3)
keyakinan tentang kemungkinan biaya, (4) keyakinan tentang efektivitas tindakan ini
sehubungan dengan adanya kemungkinan tindakan alternatif.
Menurut Marshall H. Becker dan Lois A. Maiman, model ini terdiri atas unsur-unsur
sebagai berikut:
a. kesiapan seseorang untuk seseorang untuk melakukan suatu tndakan ditentukan oleh
pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi mereka terhadap
kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
b. Penilaian seseorang terhadap perilaku kesehatan tertentu, dipandang dari sudut kebaikan
dan kemanfaatan (misalnya perkiraan subjektif mengenai kemungkinan manfaat dari suatu
tindakan dalam mengurangi tingkat bahaya dan keparahan). Kemudian dibandingkan
dengan persepsi terhadap pengorbanan (fisik, uang, dan lain-lain) yang harus dikeluarkan
untuk melaksanakan tindakan tersebut.
c. Suatu “kunci” untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat harus ada , baik dari
sumber internal (misalnya gejala penyakit) maupun eksternal (misalnya interkasi
interpersonal, komunikasi massa).
6. Model Kurt Lewin
Mempunyai pandangan → individu hidup di lingkungan masyarakat
Individu ini akan bernilai positif dan negatif di suatu daerah atau wilayah tertentu.
Implikasinya didalam kesehatan adalah penyakit atau sakit adalah suatu daerah negatif
sedangkan sehat adalah wilayah positif.
Ada 4 variabel apabila seseorang bertindak untuk melawan atau mengatasi penyakit :
a. Kerentanan yang dirasakan ( perceived suspecbility )
b. Keseriusan yang dirasakan ( perceived seriousness )
c. Manfaat dan rintangan – rintangan yang dirasakan ( perceived benefits and barriers
)
d. Isyarat atau tanda – tanda (clues ) ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara
kekeuataan pendorong ( driving forces ) dan kekuatan penahan ( resistining forces ). Teori  ini
dinamakan ( force field analysis ) individu selalu terdapat kekuatan/ dorongan yang saling
bertentangan. Keadaan ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan
Sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang :
a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat.
b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun.
c. Kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan menurun.
7. Model Pengambilan keputusan
Ada beberapa kondisi sosial yang khas terjadi yaitu ;
a. Realitas sosial adanya perbedaan pemahaman dan sikap antara pasien dan anggota
keluarganya
b. Perbedaan pemahaman dan sikap pasien diwujudkan dalam bentuk persepsi atau
respons terhadap penyakit tersebut
c. Setiap diantara mereka mempunyai akses informasi ke pihak lain mengenai persepsi
penyakit
d. Adanya komunikasi atau interkasi antara pasien dan orang lain
Interaksi ini menghasilkan dua kemungkinan ;
a. De kolektivasi refeksi
b. Kolektivasi persepsi
Ada dua kemungkinan kolektivasi pasien :
a. Aktif ( inisiatif untuk bertindak dalam proses penyembuhan)
b. Pasif ( pasrah terhadap sikap orang lain diluar dirinya ) ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
BAB IV
OBAT : ORANG MISKIN DILARANG BEROBAT DAN SAKIT
Sampai saat ini, masih banyak anggota masyarakat yang menganggap bahwa untuk
mendapatkan nilai sehat sangat bergantung pada kehadiran sediaan farmasi. Ketiadaan
kesediaan farmasi, kemudian dianggap sebagai ketiadaan cara untuk mendapatkan diri yang
sehat dan/atau hidup yang sehat. Padahal, dibalik itu semua, ternyata ditemukan bahwa untuk
mendapatkan kesehatan dan/atau meningkatkan kualitas hidup yang sehat, tidak hanya
dibutuhkan sediaan farmasi, tetapi cara lain yang memiliki fungsi sama dengan sediaan obat.
Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, yang dimaksud sediaan
farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik, sedangkan yang dimaksud
dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sari (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Merujuk pada kedua ayat dalam UU Kesehatan tersebut, ditemukan bahwa yang
dimaksud dengan obat dan pengobatan itu cenderung berorientasi pada adanya sesuatu yang
menjadi asupan tambahan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan/atau mendukung
penyembuhan.
Obat dalam dunia kesehatan, selain memiliki simbol ekonomi, juga memiliki simbol
expertise. Orang yang mampu beli obat adalah ciri orang yang memiliki kemampuan ekonomi.
Tempat pembelian obat dan jenis obat yang beli memperjelas posisi ekonomi seseorang.
Sementara orang yang tidak berobat adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ekonomi.
Analisis ini mungkin tidak tepat seluruhnya, khususnya bila dikaitkan dengan tingkat
“kemelekan” seseorang terhadap obat itu sendiri. Karena “obat” yang sesungguhnya mujarab
untuk kesehatan tubuh dan rohani kita adalah “menjaga” kesehatan itu sendiri. Namun
demikian, untuk konteks saat ini, interprestasi obat (jenis dan tempat pembelian obat)
merupakan simbol ketahanan ekonomi yang dimiliki. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan
“Teknik operasi’ Orang yang mau dioperasi menunjukkan ketahanan atau kekuatan
ekonominya sangat tinggi (atau memaksakan diri untuk mampu!). ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Pada sisi yang lain, obat pun adalah simbol expertise. Legitimasi intelektual dan
hegemoni pelaku kesehatan begitu sangat kuat. Selain kondisi psikologis publik yang masih
“percaya secara buta” kepada pelayan kesehatan (farmasi atau dokter), juga dipengaruhi oleh
simbol-simbol lainnya yang menyebabkan rasio-publik tidak kritis. Masyarakat kecil
mengatakan, “Boro-boro bisa protes, istilah yang dicantumkan dalam obat itu pun tidak
ngerti.” Pencatuman bahasa latin atau bahasa asing dalam tablet atau kemasan obat merupakan
ciri expertise (elit) obat yang berkembang di masyarakat.
Fenomena ini bukan masalah sederhana, bahkan merupakan sesuatu hal yang patut untuk
dicermati secara jelas dan tegas oleh publik. Di masyarakat, karena ketidakmampuan membaca
“elitnya bahasa dalam kemasan obat” menyebabkan dirinya tidak pernah protes, tidak kritis
terhadap status halal-haramnya obat dan relevan tidaknya obat dengan penyakit yang sedang
dideritanya. Sekali lagi, perlu ditekankan di sini bahwa karena adanya hegemoni dan status
dokter itulah yang kemudian membuat nalar pasien menjadi tumpul.
Era modern saat ini, membuka peluang terjadinya liberalisasi produsen obat-obatan.
Dengan proses liberalisasi ini, maka persaingan obat akan semakin tinggi dan diharapkan akan
berdampak pada harga dan layanan pengobatan yang semakin murah. Karena monopolilah,
harga obat di Indonesia begitu sangat mahal. Lebih jauhnya lagi, biaya pengobatan di rumah
sakit akan dapat terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
Jenis-jenis Obat
Obat Tradisional
Karena bahasan ini telah kita uraikan pada bab sebelumnya, yang secara khusus
mengenai obat tradisional, maka dalam bab ini tidak akan diulas ulang mengenai jenis dan
rincian dari obat tradisional. Hal yang paling penting dan perlu ditekankan bahwa dalam
pelaksanaan dimasyarakat dan juga dalam dunia kedokteran saat ini, obat tradisional ini sudah
mulai dijadikan sebagai terapi tambahan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas kesehatan
atau akseleraasi penyembuhan seseorang.
Sekedar contoh, seorang dokter akan memberikan terapi fisik atau akupuntur kepada
pasien/klien tertentu, bila memang teknik kedokteran modern dipandang tidak secara maksimal
memberikan layanan kesehatan yang prima. Hal ini bukan berarti bahwa terapi fisik akupuntur
diposisikan lebih baik dari kedokteran modern, melainkan sekedar menambah tingkat ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
akseleratif dan proses penyembuhan seseorang. Oleh karena itu, perpaduan antara teknik
modern dengan tradisional kerap kali dilakukan oleh seorang tenaga medis modern.
Olahraga Sebagai Pengobatan
Dalam kehidupan modern ini, cabang olahraga sudah sangat bervariasi. Mulai dari
olahraga berbiaya tinggi (seperti terbang layung, mendayung, golf, dan lainnya) sampai pada
olahraga berbiaya rendah (misalnya sepak bola, catur, jogging, dan lainnya). Setiap anggota
masyarakat tampaknya memiliki salah satu hobi dari salah satu atau lebih cabang olahraga
tersebut.
Apapun cabang olahraganya, pada benak masyarakat kita saat ini, cenderung
memandang fungsi olahraga dari sisi prestasi dan hobi serta kurang melihat dari sisi kesehatan.
Kesungguhan seseorang menjalankan salah satu profesi olahraga memang dapat
diiadikan sebagai “komoditas ekonomi”. Tinju professional, sepakbola profesional, dan/atau
cabang olahraga lainnya, yang dijalani seseorang secara profesional maka sesungguhnya dari
cabang olahraga tersebut dapat mendatangkan nilai ekonomi bagi para pelakunya. Pada
konteks inilah, maka cabang olahraga di masyarakat kita dipersepsikan sebagai salah satu
komoditas atau “lapangan kerja” yang potensial mendapatkan uang.
Menurut Santoso Giriwijoyo (1992:57) berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka
olahraga dapat dibagi (1) olahraga prestasi, (2) olahraga rekreasi, (3) olahraga kesehatan, dan
(4) olahraga pendidikan, yaitu menekankan pada peran dan posisi olahraga dalam mencapai
tujuan pendidikan.
Yang membedakan olahraga kesehatan dan kegiatan olahraga lainnya terutama dalam
ciri khas kegiatan itu, terutama ditinjau dari aspek teknis-fisiologis. Tiga ciri khusus olahraga
kesehatan, yakni :
1. Adanya kesatuan gerak takaran (dosis) sehingga intensitas gerak dan waktu
pelaksanaanya dapat diatur.
2. Intensitas gerak/kerja biasanya mencapai taraf submaksimal sebagai faktor keamanan
bagi si pelaku.
3. Intensitas gerak/kerja harus melampaui taraf minimal agar menghasilkan manfaat
atau perubahan kemampuan perangkat gerak (ergosistem).
Lebih jauh Giriwijoyo mengatakan, “Olahraga memang menyehatkan jiwa dan raga”
namun perlu dipahami, hal itu terbatas hanya pada penyakit non-infeksi. Olahraga tidak ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
menyebabkan orang menjadi kebal terhadap penyakit infeksi. Bahkan sebaliknya, penyakit
infeksi akan bertambah parah bila seseorang berolahraga. Karena itu, seseorang yang ingin
berolahraga harus memiliki status sehat yakni bebas dari penyakit infeksi dan faali, alat-alat
tubuhnya berfungsi normal pada waktu istirahat, kecuali bila yang bersangkutan memang akan
melakukan olahraga dengan tujuan untuk penyembuhan atau rehabilitasi. Hal inilah yang sering
kurang dipahami oleh kebanyakan orang sehingga sering terbentuk anggapan salah yakni
“olahraga dianggap mampu rnenangkal semua penyakit”.
Hal utama yang perlu mendapat perhatian di sini yaitu kebutuhan 4 sehat 5 sempurna
sesungguhnya belum lengkap dalam mendukung usaha menciptakan kehidupan yang sehat. 4
sehat 5 sempurna perlu ditambahkan dengan gerak (olahraga). Individu akan mengalami
gangguan kesehatan manakala hanya mengutamakan 4 sehat 5 sempurna tanpa memerhatikan
aspek olahraga. Oleh karena itu, gerak atau olahraga menurut penulis merupakan salah satu
jenis pengobatan.
Berpikir Positif Sebagai Pengobatan
Pikiran yang positif tidak kalah pentingnya dengan jenis medikamentosa sebagaimana
yang diberikan seorang dokter. Berpikir positif dalam pandangan “tri-energetik” merupakan
bagian dari jenis pengobatan yang dapat mendukung pada upaya peningkatan kualitas
kesehatan seseorang.
Pikiran yang positif ini pada satu sisi bermanfaat dalam membangun budaya dan perilaku
sehat dan pada sisi lain mendukung usaha percepatan penyembuhan. Seorang pasien yang
memuliki sikap terbuka. Optimis, dan rileks akan mendukung usaha penyembuhan yang lebih
baik dibandingkan dengan mereka yang berpikiran negatif, pesimis, dan tidak memiliki gairah
hidup.
Seiring dengan hal ini, dapat ditegaskan bahwa pikiran yang positif merupakan salah satu
pengobatan yang perlu diterapkan dalam kaitannya dengan proses peningkatan kesehatan.
Etika Sebagai Pengobatan
Selain yang telah dituturkan di atas, ada satu teknik pengobatan lain yang kerap kali
dilupakan oleh tenaga kesehatan. Teknik yang dimaksud yaitu etika sebagai bagian dan proses
pengobatan. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Jika menelaah tulisan Mulyadi Kartanegara, dapat ditemukan bahwa menurut ahil medis
muslim Ar-Razi bahwa etika merupakan salah satu teknik pengobatan yang bermanfaat dalam
meningkatkan kualitas kesehatan seseorang.
Penamaan etika sebagai kedokteran rohani bukan tanpa makna. Para ilmuwan muslim
memang menyejajarkan etika dengan kedokteran, baik dilihat dari kepentingan maupun
metodenya. Kalau kita memerlukan ilmu-kedokteran dan penerapannya untuk memelihara
kesehatan, maka menurut mereka, kita juga membutuhkan ilmu etika dan penerapannya dalam
tindakan kita untuk kesehatan mental atau jiwa.
Pada masa sekarang ini, banyak orang yang merasa sakit kemudian pergi ke dokter.
Mereka tidak melihat bahwa aspek etika sebagai salah “satu cara pengobatan”. Hal ini bisa jadi
karena teknik ini belum banyak diketahui orang atau karena tren budaya masyarakat modern
saat ini lebih menekankan pada aspek kesehatan jasmani, sehingga teknik etika sebagai bagian
dari pengobatan kesehatan menjadi sangat kurang diperhatikan.
Dalam rangka memelihara kesehatan jiwa, Miskawayh mengemukakan sekurangnya lima
tips (kiat) untuk merawat kesehatan mental. Pertama, cermat mencari teman baik dan jangan
mendapat teman jahat karena sekali mendapat teman yang jahat niscaya kita akan mencuri
tabiat mereka tanpa disadari. Kedua, menjaga kesiagaan akal dengan berolah pikir supaya
tidak jatuh ke dalam perangkap kemalasan. Ketiga, memelihara kesucian dan kehorrnatan kita
dengan tidak merangsang syahwat. Keempat, menyinkronkan antara rencana dan tindakan agar
kita tidak tenjerat ke dalam jaringan kebiasaan buruk kita. Terakhir, yang kelima, berusaha
memperbaiki diri dengan cara senantiasa mengoreksi kekurangan diri.
Dalam membangun etika yang sehat ini, dapat pula dikembangkan dalam konteks
penciptaan lingkungan sosial yang sehat. Komunikasi, pergaulan, dan interaksi yang sehat
dapat mendukung pada penciptaan kualitas lingkungan yang sehat. Dengan kata lain, etika
sebagai pengobatan tidak hanya berskala individual, melainkan memiliki skala yang sosial yaitu
pentingnya peran lingkungan sosial dalam membangun lingkungan dan budaya hidup sehat.
Fenomena Pemalsuan Obat : Orang Miskin Dilarang Berobat
Jika ada yang menyatakan orang miskin dilarang sakit, mungkin akan terasa aneh.
Namun, justru disinilah pentingnya orang miskin agar berhati-hati, supaya tidak termasuk
orang yang jatuh tertimpa tangga, terus tiada yang menolong, kalaupun ada orang yang lewat
hanya sanggup berkata duuh kasihan!”. Oleh karena itu, satu-satunya cara yaitu harus ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
berusaha untuk menjaga kesehatan atau kebugaran, sehingga aktivitas sehari-hari masih letap
dapat dijalankan.
Andai saja tertimpa musibah sakit, maka ada peningatan yang kedua, yaitu hati-hati
dalam membeli obat. Peringatan ini sudah pasti bukan ditujukan kepada mereka yang memiliki
kecukupan harta untuk dirawat atau konsultasi ke dokter spesialis atau tempat rujukan (rumah
sakit). Peringatan ini kembali ditujukan kepada masyarakat yang tidak memiliki daya beli yang
tinggi terhadap obat.
Di daerah Pekanbaru ditemukan para pemulung sampah – dalam bahasa gaul Pekanbaru
disebut inang-inang – selain mencari barang bekas, merekapun membuka bungkusan sampah
yang diduga terdapat obat-obatan yang masih dalam kemasan. Temuan obat-obat bekas ini,
mereka kumpulkan untuk kemudian dijual kembali ke pasaran. Dalam mengelabui atau
merekayasa obat bekas ini, mereka melakukan beberapa tindakan.
a. Semua jenis obat dikumpulkan.
b. Hasil dari memulung obat tersebut, kemudian di bawa pulang ke rumah.
c. Untuk merapikan kondisi obat tablet yang terbungkus dalam alumunium atau
sejenisnya, mereka rapikan dengan tangan secara perlahan.
d. Kemudian dilap dengan menggunakan kain dengan air secara perlahan.
e. Bagian-bagian kemasan obat yang rusak, digunting sehingga tampak rapi.
f. Obat-obatan yang sudah rapi tersebut, selanjutnya dikeringkan selama 5 menit.
g. Mereka pisah-pisahkan berdasarkan pengetahuan mereka (seperti jenis vitamin, obat
pusing, dan sebagainya).
h. Tahap akhir, yaitu menjualnya kepada penadah obat, bahkan kabarnya sudah sampai
ke Jakarta bahkan kembali ke apotek.
Pasar Pramuka
Peredaran obat palsu hingga kini masih merajalela dan semakin terbuka. Bahkan Badan
POM mengaku kewalahan dalam memotong rantai sindikat peredaran obat ilegal ini. Berikut
penelusuran Kemal Ramdan dan Cosmas Gatot yang mencerminkan bebasnya peredaran obat
palsu di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.
Ciri yang paling mudah dikenali adalah, lembaran obat tak memiliki kemasan, hanya
ditumpuk dan diikat karet. Tak jarang mereka menyimpan obat palsu di rak khusus, loker atau ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
di dalam etalase. Ini sejalan dengan pengakuan salah satu pedagang yang pernah menjual obat
terlarang ini.
Para penjual obat disini nenyebutnya dengan obat putus, atau obat potongan karena
dijual hanya beberapa strip. Jenis obat yang banyak dijual adalah golongan obat ant biotik,
analgesik, antipiretik, histamin, antidiabetes, dan anti hipertensi.
Carut-marutnya peredaran obat palsu ini sebenarnya bukan barang baru. Namun, BPOM
sebagai otoritas resmi selalu menuding lemahnya penegakan hukum sebagai penyebab tetap
maraknya peredaran obat palsu. Di sisi lain di tengah keterbatasan BPOM memberantas
peredaran obat palsu, jaringan pemasok obat legal semakin solid dengan pola yang semakin
canggih. Padahal BPOM telah mempunyal kewenangan, tim penyidik PPNS, anggaran, bahkan
back up aparat dan Mabes Polri. Namun rasanya pemberantasan obat palsu ini masih jauh dari
efektif. Jangankan menyeret aktor-aktor kelas kakap, para pelaku kelas teri saja sampai kini
masih bergerak dengan leluasa.
TPA Bantar Gebang
Peredaran obat ilegal ternyata datang dari berbagai sumber. Jangan kaget bila ternyata
sebagian obat palsu dipasok dari para pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Bantar-Gebang.
Fakta selanjutnya muncul dari pengakuan seorang pemulung yang mengakui adanya jual
beli obat-obatan bekas di TPA Bantar Gebang. Bila berhasil memulung sampah berupa tablet
atau kapsul, buru-buru ia bersihkan kembali dan disimpan di saku celananya. Karena
menurutnya obat punya nilai jual yang lumayan.
Memang bukan hal terlarang mencari berkah di balik tumpukan sampah ini. Namun, bila
menyangkut obat yang dikonsumsi manusia, nyawa menjadi taruhannya. Apa jadinya bila
orang sakit diberi obat kedaluwarsa atau obat bekas yang dipungut dan gundukan sampah?
Banyaknya peredaran toko obat tanpa izin ini, menurut Hakim, karena tidak adanya
kesadaran yang tinggi oleh pemilik dalam menaati aturan kesehatan. Pihaknya sejauh ini telah
melakukan upaya pengawasan secara intensif, namun masih saja sulit melakukan pemantauan
kepada toko obat yang ilegal dalam melakukan kegiatan mereka. Karena toko-toko itu
mengedarkan obat yang diduga bisa membahayakan kesehatan masyarakat, maka pihaknya
menghimbau masyarakat agar lebih meningkatkan kewaspadaan dalam membeli obat-obatan. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Dispensasi Obat
Sebuah kritikan dari publik, terhadap perilaku dokter atau tenaga medis, yaitu adanya
gejala praktek dokter yang melakukan dispensing obat. Dalam kaitan dengan perilaku ini,
Willa Chandrawilla, memberikan bantuan penjelasan makna dispensing dengan menunjuk pada
konteks bahasa Inggris, yaitu “to dispense” yang secara harfiah berarti membagikan. Dengan
kata lain, seorang dokter yang melakukan dispensing obat, artinya dia membagikan obat
kepada pasien. Dalam praktiknya, perilaku dokter di masyarakat kita ini, bukan hanya
membagikan obat kepada pasien, namun dokter pun menyimpan sejumlah obat di tempat
praktik kedokteran yang dibukanya secara pribadi.
Apabila dispensing obat kini dipermasalahkan sebenarnya telah sangat lama
dipermasalahkan-lebih karena dipicu oleh telah diundangkannya UU tentang Praktik
Kedokteran Nomor 20 Tahun 2004 (selanjutnya UUPK) yang diberlakukan tanggal 6 Oktober
2005. Masalah dispensing obat adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke Merauke
hampir seluruh dokter di daerah melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di kota besar
juga melakukannya. Penanganan terhadap masalah dispensing obat harus diselesaikan secara
bijaksana dan menyeluruh, karena bukan hanya nenyangkut tenaga kesehatan (dokter dan
apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang sakit, yang sebagian sangat
besar menyangkut orang sakit yang kurang mampu secara ekonomi, yakni golongan
masyarakat yang untuk biaya berobat pun, sering kali berasal dari uang pinjaman kiri dan
kanan.
Pasien yang menggunakan jasa pelayanan praktik kedokteran yang berada di daerah di
mana pun juga di seluruh Indonesia, sampai saat ini sangat “biasa” menerima pelayanan praktik
kedokteran dengan sistem “paket”, yakni setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, akan
sekaligus mendapatkan sejumlah obat-obatan yang diperlukan oleh pasien berkaitan dengan
proses penyembuhan penyakitnya.
Dokter tidak boleh menyimpan persediaan obat dalam “jumlah banyak” di tempat praktik
karena melalui Pasal 35 Ayat (i) UUPK, dokter mempunyai wewenang menyimpan obat dalam
“jumlah dan jenis yang diizinkan”; dan bahkan melalui pasal yang sama, Ayat (j), dokter
mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang
tidak ada apotek. Artinya apabila dokter boleh menyimpan obat, maka dokter juga boleh
membagikan obat langsung kepada pasien. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Kebiasaan dispensing obat dimulai dari hubungan penyembuh dengan orang sakit yang
tidak berdasarkan aturan-aturan hukum namun lebih kepada aturan-aturan pengobatan.
Namun, kini dengan kemajuan zaman, hubungan antara penyembuh dengan orang sakit, selain
hubungan pengobatan, terbentuk pula hubungan hukum, yang diatur dengan aturan-aturan
hukum.
Apabila dokter tidak boleh memberikan pelayanan praktik kedokteran dengan sistem
hanya memberikan resep obat dan mempersilahkan pasien membeli ke apotek, yang letaknya
belum tentu dekat, maka alih-alih pasien membeli obat ke apotek, pasien akan mencari institusi
yang lain yang pasti bukan apotek, yang dapat memberikan pelayanan dengan sistem “paket”.
Dapat dipastikan, apabila suatu ketika masyarakat Indonesia sudah menjadi makmur dari
segi ekonomi, dimana biaya dokter dan biaya obat sudah bukan masalah lagi, maka dokter
tidak perlu dispensing obat, karena masyarakat yang sudah makmur itu tahu cara pengobatan
modern, yang memilah antara penyembuh dan penyedia obat-obatan.
Ketentuan tentang apotek mengharuskan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang
apoteker yang bekerja penuh waktu, jadi satu apotek dikelola oleh satu apoteker dan dibantu
oleh asisten apoteker sebagai pelaksana. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak apotek di kota
kecil dan kecamatan yang jauh dari kota besar, yang apotekernya tidak jelas ada dimana, hanya
namanya saja yang tercantum  di papan nama, sehingga apotek ada di bawah pengelolaan
asisten apoteker saja. Bahkan yang tidak ada asisten apotekernya sehingga yang menyediakan
dan memberikan obat, bukan lulusan menengah farmasi.
Masalah dokter dan apotek (apoteker) adalah masalah sebab-akibat dan akibat-sebab
yang memerlukan penyelesaian yang holistik agar tidak ada pihak yang hanya dirugikan atau
hanya diuntungkan sebaiknya semuanya mendapatkan keuntungan sesuai dengan bagiannya
terutama jangan sampai kategori pasien tidak mampu secara ekonomi yang dirugikan, dimana
gajah dengan gajah bertengkar, pelanduk mati di tengah-tengah.
Masalah dokter dan apotek (apoteker) akan selesai kalau semua pihak mengikuti jalur
hukum, namun sekarang bagaimana caranya melakukan pengaturan tentang dispensing obat
oleh dokter, sebab menyangkut hampir seluruh dokter di daerah? Banyak faktor yang akan
memengaruhi pembenahan, sebagai misal masalah geografi, masalah kemiskinan, masalah
pedagang besar farmasi yang menjuat obat langsung kepada dokter yang faktur pembeliannya
dari salah satu apotek entah di mana dan masih segudang masalah lainnya, semuanya masih
memerlukan proses pembenahan yang sangat panjang. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Obat dan Pengukurannya
Bila seseorang sudah mendapatkan obat, baik itu membeli dari apoteker, warung (obat
bebas), maupun yang mendapat rujukan dari resep dokter, akan dihadapkan pada salah satu
aturan main mengonsumsi obat, misalnya diminum 3 x sehari, dengan ukuran 1 (satu) sendok
teh. Pernyataan ini, seolah-olah mudah dipahami dan dipersepsi oleh masyarakat sebagai
sesuatu hal yang sudah jelas. Padahal, dibalik aturan main serupa itu, ada nilai budaya yang
perlu dipikirkan dan perlu diperjelas, sehingga tujuan mengonsumsi obat, yaitu untuk
meningkatkan kualitas kesehatan dapat diwujudkan.
Obat, menurut Handrawan Nadesul, obat sudah ditakar dengan ukuran atau takaran
yang jelas, dengan mempertimbangkan kadar atau dosis yang disesuaikan dengan tujuan dan
acuan yang berlaku. Takaran yang tepat sangat penting untuk mendapatkan kesembuhan.
Kelebihan dosis dapat menyebabkan terakumulasinya efek samping dan penyakit tidak dapat
disembuhkan. Sedangkan kekurangan dosis menyebabkan obat tidak akan mampu
menyembuhkan penyakit. Oleh karena itu, perhatian terhadap ukuran atau takaran obat ini
menjadi sangat penting untuk diperhatikan.
Secara sosiologis, ukuran sendok adalah sangat berbeda. Ukuran takaran obat,
sebagaimana yang dikenal masyarakat saat ini, sesungguhnya berlandaskan pada takaran
sendok teh di Belanda (farmakope). Di Belanda, ukuran sendok teh adalah 3 cc  dan volume
sendok bubur 8 cc. Sementara  ukuran teh sendok di Indonesia, rata-rata kurang dari 3 cc.
Berdasarkan kenyataan seperti ini dapat dikemukakan beberapa analisis selanjutnya.
Pertama,  bila orang alpa  atau khilaf perbedaan ukuran tersebut, maka potensi
kurangnya daya sembuh obat menjadi sangat tinggi. Penyakit yang sedang diderita pasien atau
anggota masyarakat tersebut, potensial untuk sulit disembuhkan.
Kedua,  bila dilakukan pengulangan (atau lebih dari satu sendok), maka obat tersebut
akan terkonsumsi lebih dari takaran yang sesungguhnya. Merujuk pada ketentuan dosis yang
ada, maka orang tersebut akan mengalami overdosis. Problem yang akan muncul dari
overdosis tersebut, (1) fungsi obat tidak akan efektif dan (2) efek negatif dari penggunaan obat
semakin tinggi. Sebagaimana diketahui, setiap obat memiliki efek negatif. Dan bila kita
mengkonsumsi obat lebih dari kebutuhanya padahal obat itu tidak efektif dalam
menyembuhkan maka sesungguhnya yang sedang terjadi dalam tubuh kita adalah terakumulasi ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
potensi-potensi efek negatif. Masalah seperti ini sudah tentu harus menjadi perhatian dari
setiap anggota masyarakat atau tenaga ahli.
Ketiga,  bila dalam kemasan  obat tersebut, terdapat sendok penyeduh dan penyertaan
sendok penyeduh ini sudah mulai dibudayakan oleh para produsen obat, maka sesungguhnya
masyarakat harus secara displin mengunakan sendok penyeduh dalam mengkonsumsi obat
termaksud. Terkait dengan masalah ini, maka perlu kiranya membiasakan menyimpan sendok
obat di rumah masing-masing, hal ini untuk mengantispisi bila dalam suatu saat ada obat yang
tidak menyertakan sendok penyeduh obat.
Keempat,  fenomena ini menunjukkan bahwa takaran obat adalah lebih bersifat ilmiah.
Namun, benda yang digunakan sebagai alat ukurnya, potensial mengandung nilai budaya.
Dengan kata lain, 3, 8, atau 10 cc adalah ukuran-ukuran ilmiah kedokteran. Namun, sendok
teh, sendok makan, atau sendok penyeduh obat merupakan alat dan teknologi bernuansakan
budaya. Ukuran antara benda satu dengan benda lainnya memiliki kandungan budaya.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ukuran meraih derajat hidup yang
sehat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Hal yang penting untuk dipahami bersama adalah
status penyakit atau sakit yang kita derita. Karena dengan memahami jelas sakit atau penyakit
tersebut, sesungguhnya kita dapat memahami penyebab dan terapi yang cocok untuk
memulihkan kembali. Kegagalan kita dalam memahami masalah ini dapat menyebabkan
sulitnya sebuah penyakit dapat disembuhkan.
Tepat sekali bahwa berhagai hal yang terjadi dalam diri manusia ini, hanya berupa sebuah
ikhtiar. Dokter, guru olahraga, bahkan kyai sekalipun bukan Tuhan yang memiiki kewenangan
untuk memberikan sakit dan sehat. Apa yang mereka lakukan, semua itu hanyalah sebuah
usaha atau ikhtiar kita dalam meraih kesehatan hidup di dunia.
Sebagai sebuah pendekatan antisipatif, maka setiap orang dapat menggunakan
pendekatan komprehensif dalam meraih kesehatan jasmaniah dan rohaniahnya secara simultan.
Dengan pendekatan komprehensif atau holistik ini, maka diharapkan tujuan untuk meraih nilai
kesehatan secara maksimal akan dapat diraih secara maksimal.
BAB V ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
PERAN DOKTER, PASIEN DAN PERAWAT
A. PENGERTIAN PERAN
Dalam kehidupan bermasyarakat, peran merupakan konsekuensi dari status seseorang. Bila
dalam masyarakat ada orang yang berstatus sebagai perawat, dokter, bidan, atau pasien, maka
terhadap individu-individu tersebut diharapkan muncul perilaku yang sesuai dengan statusnya
masing-masing.
Menurut Ralf Dahrendrof (dalam Veeger, 1986:235), peran dimaknai sebagai satu pola
tingkah laku, kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat
dan tindakan si pemegang status atau kedudukan sosial.
Dalam suatu lingkungan, seseorang berkewajiban untuk menunjukkan peran sosial sesuai
dengan statusnya. Sementara di lain pihak, mungkin pula dia dapat berperan sebagai status yang
berbeda. Contoh :seorang dokter yang merawat mertuanya. Di tempat perawatan, si mertua tersebut
adalah pasien dokter maka harus patuh dan taat pada dokter, sedangkan di rumah sang dokter harus
hormat dan patuh pada mertuanya. Pada situasi seperti ini, memang ada kalanya peran seseorang
seringkali berbeda tergantung pada situasi sosial masing-masing.
B. PERAN SAKIT-SEHAT
Secara ilmiah penyakit (disease) itu diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Sedangkan sakit (illness) adalah
penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit.
Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan
individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan
kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi. Perilaku sehat ini
diperlihatkan oleh individu-individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu
mereka betul-betul sehat.
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter. Dengan berbagai kondisi dan jenis penyakit yang dideritanya, setiap pasien menunjukkan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
perilaku yang berbeda dihadapan seorang tenaga medis. Kalangan sosiologi menyebutnya sebagai
fenomena peran sakit dalam perilaku kesehatan masyarakat.
Seorang ahli sosiologi dan psikologi sosial, Mechanic, mengembangkan teori tentang
perilaku sakit yang dinamakannya teori respons bertahan (copyng response theory). Menurut
Mechanic perilaku sakit adalah reaksi optimal dari individu jika dia terkena suatu penyakit. Dan reaksi
ini sangat ditentukan oleh sistem sosialnya. Perilaku sakit erat hubungannya dengan konsep diri,
penghayatan situasi yang dihadapi, pengaruh petugas kesehatan, serta pengaruh birokrasi (karyawan
yang mendapat jaminan perawatan kesehatan yang baik akan cenderung lebih cepat merasa sakit
daripada mereka yang justru akan akan kehilangan nafkah hariannya jika tidak masuk kerja karena
sakit). Ada dua faktor utama yang menentukan perilaku sakit, yaitu :
a. Persepsi atau definisi individu tentang suatu situasi/penyakit
b. Kemampuan individu untuk melawan serangan penyakit tersebut
Perilaku sakit ini juga diteropong oleh Suchman yang memberikan batasan perilaku sakit
sebagai tindakan untuk menghilangkan rasa tidak enak atau rasa sakit sebagai akibat dari timbulnya
gejala tertentu. Suchman menganalisa pola proses pencarian pengobatan dari segi individu atau petugas
kesehatan. Menurutnya, ada 5 macam reaksi dalam proses mencari pengobatan, antara lain:
1. Shopping,  yaitu proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang
dapat memberikan diagnosa dan pengobatan sesuai dengan harapan.
2. Fragmentation, yaitu proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama
3. Procrastination, yaitu proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya
sudah dirasakan
4. Self medication, yaitu pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagi macam ramuan atau
obat-obatan yang dinilai tepat baginya
5. Discontinuity, yaitu penghentian proses pengobatan
Dalam menentukan reaksi/tindakannya sehubungan dengan gejala penyakit yang
dirasakannya, menurut Suchman, individu berproses melalui tahap-tahap berikut ini :
1. Tahap pengenalan gejala
Individu memutuskan bahwa dirinya dalam keadaan sakit yang ditandai dengan rasa tidak
enak dan keadaan itu dianggapnya dapat membahayakan dirinya ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
2. Tahap asumsi peranan sakit
Karena merasa sakit dan perlu pengobatan, individu mulai mencari pengakuan dari kelompok
acuannya (keluarga, tetangga,dll) tentang sakitnya itu dan meminta pembebasan dari tugas
sehari-harinya.
3. Tahap kontak dengan pelayanan kesehatan
Individu mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan informasi yang diperoleh/dari
pengalamannya tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan.
4. Tahap ketergantungan si sakit
Individu memutuskan bahwa dirinya sebagai orang sakit dan ingin disembuhkan, harus
menggantungkan diri kepada prosedur pengobatan dan harus kpatuh terhadap perintah orang yang
akan menyembuhkannya.
5. Tahap penyembuhan atau rehabilitasi
Individu memutuskan untuk melepaskan diri dari peranan sebagai orang sakit karena ia
sudah sehat kembali dan dapat berfungsi seperti sedia kala.
Dalam hal ini, Sudibyo Supardi merinci 6 peran sakit di masyarakat, yaitu:
1. Sakit sebagai upaya untuk menghindari tekanan. Contoh : Sebuah keluarga miskin tinggal
rumah sempit yang kumuh. Suatu hari datang adik-adik suaminya ikut tinggal bersamanya untuk
mencari pekerjaan. Istri merasa wajib memberi makan dan tempat tidur yang layak bagi mereka.
Namun bersama dengan itu, sang istri merasakan keterbatasan uang dan ruang gerak dan dituntut
untuk lebih memperhatikan anaknya. Lalu kemudian ia terbaring sakit dirumahnya. Atas anjuran
saudara-saudaranya maka adik-adik suaminya pindah dan istrinya sembuh kembali. Melalui peran
sakit istri, maka keluarga tersebut dapat terhindar dari ketegangan yang dapat merusak keluarga.
2. Sakit sebagai upaya untuk mendapat perhatian. Masyarakat menekankan pentingnya orang sakit
mendapat perhatian khusus, tempat khusus, makanan khusus, dan sebagainya. Bagi orang yang
merasa kesepian atau tidak yakin atas penerimaan orang lain akan dirinya, maka salah satu cara
pelepasannya dilakukan dengan melalui peran sakit.
3. Sakit sebagai kesempatan untuk istirahat. Bagi orang yang banyak mengalami ketegangan di
kantor atau di rumah, peran sakit merupakan salah satu pilihan. Beberapa orang dapat menikmati
masa istirahat beberapa hari dan bebas dari ketegangan rutin melalui rawat inap di rumah sakit
dengan biaya kantor. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
4. Sakit sebagai alasan kegagalan pribadi. Peran sakit juga digunakan sebagai alasan
ketidakmampuan menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan, upaya menghindari tanggung jawab
atau pembenaran diri
5. Sakit sebagai Penghapus dosa. Masyarakat tertentu percaya bahwa sakit merupakan akibat dari
dosa yang dilakukan sebelumnya. Sakit merupakan hukuman Tuhan untuk menghapus dosa yang
telah dibuat hamba-Nya. Melalui peran sakit, Tuhan memberi kesempatan pada seseorang untuk
menyesali dosa yang diperbuatnya.
6. Sakit untuk mendapatkan alat tukar. Contoh : Karyawan yang mendapat penggantian ongkos
berobat, sering mengumpulkan obat melalui peran sakit. Setelah mendapatkan sejumlah obat
berikut aturan pakainya, ia menyimpan obat tersebut untuk digunakan sebagai alat tukar dengan
berbagai keperluannya.
Dalam konteks politik, peran sakit memiliki nilai yang berbeda dibandingkan yang lainnya,
yaitu ada peran sakit :
1. Sebagai alat untuk menghindari proses hukum
2. Sebagai alat untuk menekan dan memaksakan kehendak pada orang lain sehingga tujuan yang
diinginkannya dikabulkan. Contoh :mogok makan
Sementara itu, peran sehat belum banyak mendapat perhatian dari kalangan sosiologi.
Banyak kalangan menganggap bahwa peran sehat merupakan peran normal bagi individu sesuai dengan
statusnya yang berlaku. Sesuai dengan konsepnya, orang sehat adalah orang yang memiliki
kemampuan prima dari sisi jasmaniah, emosi, spiritual dan ekonomi.
C. PERAN PERAWAT
· Pengertian
Perawat adalah orang yang dididik menjadi tenaga paramedis untuk menyelenggarakan
perawatan orang sakit atau secara khusus untuk mendalami bidang perawatan tertentu. Perawat
merupakan salah satu komponen penting dan strategis dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Kehadiran dan peran perawat tidak dapat diabaikan. Dalam menjalankan tugasnya, perawat dituntut
untuk memahami proses dan standar praktik keperawatan. Keperawatan adalah diagnosis dan
penanganan respons manusia terhadap masalah kesehatan aktual maupun potensial ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Menurut hasil lokakarya Keperawatan Nasional (1983), keperawatan diartikan sebagai :
Suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integrasi dari pelayanan
kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan
bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat
baik yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia.
Perawat (nurse) berasal dari bahasa latin yaitu nutrix yang berarti merawat atau memelihara.
Harlley Cit menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam
merawat, memelihara, membantu serta melindungi seseorang karena sakit, cedera dan proses penuaan.
Sedangkan menurut Depkes RI (2002), perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab
dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya.
Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis, membutuhkan
kreativitas dan berlaku pada berbagai keadaan dan rentang kehidupan manusia (Carpenito,1998).
Tahap dalam melakukan asuhan keperawatan yaitu pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,
implementasi dan evaluasi.
Dari definisi peran tersebut, maka profesi perawat diakui sebagai bagian integrasi dari
pelayanan kesehatan. Ini artinya dalam pelayanan kesehatan. Ini artinya bahwa dalam pelayanan
kesehatan, peran dan fungsi perawat merupakan satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dan tidak
bisa diabaikan oleh tenaga kesehatan yang lainnya. Bahkan bila dilihat dari segi intensitas interaksi
dengan pasien, kelompok profesional perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling tinggi
interaksinya.
· Perawat Sebagai Individu
Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi asuhan keperawatan dan praktik
keperawatan, pengelola institusi keperawatan, pendidik klien serta peneliti di bidang keperawatan
(Sieglar, 2000)
Peran perawat sebagai individu, antara lain :
1. Peran sebagai  pelaksana (care giver). Peran ini merupakan peran dalam memberikan asuhan
keperawatan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada klien dengan pendekatan
pemecahan masalah sesuai dengan metode dan proses keperawatan. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
2. Peran sebagai pendidik. Perawat berperan dalam mendidik individu keluarga, kelompok,
masyarakat, serta tenaga kesehatan yang berada di bawah tanggung jawabnya.
3. Peran sebagai pengelola. Perawat mempunyai tanggung jawab mengelola pelayanan maupun
pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan.
4. Peran sebagai peneliti. Perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian,
menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk
meningkatkan mutu asuhan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
· Peran Perawat dari Sudut Profesi dan Tujuan Lembaga Pendidikan
Program Pendidikan D3 Keperawatan di Indonesia sebagai pendidikan yang menghasilkan
perawat profesional pemula. Pendidikan ini bertujuan mendidik peserta didik melalui proses belajar
untuk menyelesaikan kurikulum sehingga mempunyai cukup pengetahuan, ketrampilan dan sikap untuk
:
1. Melaksanakan pelayanan keperawatan profesional dalam suatu sistem pelayanan kesehatan
sesuai kebijaksanaan umum pemerintah yang berlandaskan Pancasila, khususnya pelayanan
asuhan keperawatan kepada individu, keluarga dan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan
2. Menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab dalam mengelola asuhan keperawatan
3. Berperan serta dalam kegiatan penelitian di bidang keperawatan dan menggunakan hasil
penelitian dan IPTEK untuk meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan dan asuhan
keperawatan
4. Berperan secara aktif dalam mendidik dan melatih klien
5. Mengembangkan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan profesional
6. Memelihara dan mengembangkan kepribadian serta sikap yang sesuai dengan etika keperawatan
dalam melaksanakan profesinya
7. Berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif dan terbuka untuk menerima
perubahan serta berorientasi ke masa depan sesuai perannya.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan no.647 tahun 2000 menegaskan bahwa keperawatan
adalah sebuah profesi. Dengan status seperti ini maka secara legal formal dan keilmuan ada pengakuan
kesejajaran antara ilmu keperawatan dan ilmu kedokteran serta ada kewenangan yang berbeda antara
perawat dan dokter.
Status sebagai profesi ini menuntut setiap perawat untuk mampu memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat sesuai dengan misi perawat untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
klien, keluarga dan masyarakat. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Dalam praktik keperawatan terdapat 3 fungsi keperawatan, antara lain yaitu:
1. Fungsi independen
Dalam fungsi ini tindakan perawat bersifat tidak memerlukan perintah dokter. Tindakan
perawat bersifat mandiri berdasarkan ilmu keperawatan. Oleh karena itu perawat bertanggung
jawab atas akibat yang timbul dari tindakan yang diambil. Contoh tindakan ini, yaitu :
a. Pengkajian seluruh riwayat kesehatan pasien/keluarganya dan pemeriksaan fisik untuk
menentukan status kesehatan
b. Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari
c. Mendukung pasien untuk berperilaku hidup sehat
2. Fungsi interdependen
Tindakan perawat berdasar pada kerjasama dengan tim perawatan atau tim kesehatan lain.
Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang dokter. Contoh tindakan
ini ialah menangani ibu hamil yang menderita diabetes, perawat bersama tenaga ahli gizi
berkolaborasi membuat rencana untuk menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan ibu hamil
dan perkembangan janin
3. Fungsi dependen
Perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medis. Perawat
membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi
kewenangan dokter. Oleh karena itu, tindakan perawat ada di bawah tanggung jawab dokter
termasuk setiap kesalahan medis yang dilakukan, kecuali jika perawat tersebut yang bertindak
tidak sesuai dengan prosedur dan ketetapan yang ditentukan dokter.
D. PERAN DOKTER
Tokoh kunci dalam proses penyembuhan suatu penyakit adalah petugas kesehatan, lebih
khususnya adalah dokter. Menurut undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
profesi dokter berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang
dan kode etik yang bersifat melayani. Berdasarkan kode etik kedokteran, dinyatakan bahwa kewajiban
umum dokter adalah :
1. menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter.
2. senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
3. tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian
profesi
4. harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri
5. tiap perbuatan atau nasihat yang memungkinkan melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya untuk kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien
6. senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau
pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang menimbulkan keresahan
masyarakat.
7. hanya memberikan surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8. dalam setiap praktiknya memberikan pelayanan medis yang kompeten dalam kebebasannya
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas
martabat manusia.
9. harus bersikap jujur dalam hubungannya dengan pasien dan sejawatnya dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya yang diketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi
atau yang melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien
10. menghormati hak-hak pasien, menghormati hak-hak sejawatnya, hak-hak tenaga kesehatan
lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
11. senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk hidup , makhluk insani
12. harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
13. dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta
masyarakat harus saling menghormati.
Merujuk pada kode etik tersebut, peran dokter dapat dirinci lebih spesifik lagi kedalam
beberapa perilaku berikut :
a. Dokter sebagai pendidik, yaitu memberikan promosi pendidikan kepada masyarakat baik
individu, keluarga, maupun masyarakat
b. Dokter sebagai pengembang teknologi layanan kesehatan , yaitu dalam praktik layanan
kesehatan, seorang dokter dituntut untuk memiliki kreatifitas dan inisiatif untuk menemukan dan
memecahkan masalah yang sedang dihadapi pasien sesuai dengan pengetahuan dan
kemampuannya sendiri ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
c. Dokter sebagai pengabdi masyarakat, yang dituntut memiliki kesediaan untuk memberikan
pertolongan. Meminjam istilah Daldiyono (2006:291) setiap dokter harus siap siaga sebagai
dokter yang profesional dalam membantu masyarakat.
d. Dokter adalah pembelajar, yaitu dengan berbagai praktik atau pengembangan ilmu yang ada ,
seorang dokter dapat belajar dan mengajari kembali baik kepada rekan sejawat atau pihak lain
mengenai perkembangan ilmu kedokteran.
Dalam melakukan perannya sebagai seseorang yang memiliki kompetensi untuk mengobati
orang yang sakit, dokter melaksanakan lima fungsi utama dan fungsi-fungsi ini dapat dianalisa
dengan patterns variables yang telah dikembangkan oleh Parsons (Schepers dan Nievaard).
· Menerapkan peraturan umum atau khusus yang harus ditaati oleh pasien (kriteria universal
versus khusus)
· Membina interaksi dengan pasien secara luas dan membaur, atau terbatas pada fungsinya
sebagai dokter (membaur versus spesifik)
· Melibatkan emosi /perasaan atau sikap netral dalam hubungannya dengan sang pasien (afektif
versus netral)
· Mengutamakan kepentingan diri sendiri atau kepentingan bersama (orientasi diri versus orientasi
kelompok)
· Memandang manusia berdasarkan kualitasnya atau prestasinya (kualitas versus pretasi)
Pandangan Parsons mengenai peran dokter tersebut merupakan pandangan yang ideal. Pada
kenyataannya tidak semua kriteria Parsons dapat dipenuhi oleh dokter dalam menjalankan fungsinya
mengobati pasien. Ilmu kedokteran modern cenderung menekankan perlunya para dokter mengetahui
dan menginternalisasikan norma-norma praktek kedokteran dalam menjalankan tugas mereka.
Pengamatan menunjukkan bahwa dimana saja di dunia ini sebagian besar anggota profesi kedokteran
berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke atas. Hal ini sering mempengaruhi hubungan
dokter-pasien.
E. INTERAKSI ANTAR KOMPONEN
Masyarakat atau individu dalam kehidupan terkait dengan sisi statis dan sisi dinamis dari
masyarakat. Struktur sosial merupakan sisi statis dan proses sosial atau interaksi sosial merupakan sisi
dinamis masyarakat. Disinilah terjadi proses sosial, dimana dalam proses sosial terdapat hubungan dan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama dan antara berbagai komponen yang
terkait.
Menurut Samsuridjal Djauzi dan Supartondo, pada tahun 1950-an ada tiga pola komunikasi
antara dokter dengan pasien, yaitu pola aktif-pasif, petunjuk-kerja sama, dan kerja sama. Pada pola
aktif-pasif, pasien bersifat pasif dan hanya melakukan sesuatu yang diperintahkan oleh dokter. Pada
pola petunjuk-kerja sama, peran dokter mulai muncul. Aspek ketaatan dan motivasi pasien dalam
menjalankan perintah dokter, menjadikan kunci penyembuhan. Sedangkan dalam pola kerja sama,
inisiatif pasien menjadi lebih kuat. Maka tidak mengherankan apabila pada saat sekarang banyak
masyarakat yang memerlukan konsultasi kesehatan.
Sedangkan pola hubungan menurut Schepers dan Nievaard (1990) berdasarkan pada jenis
penyakit atau kondisi kesehatan pasien, hubungan dokter-pasien secara umum dapat dibedakan menjadi
tiga model , yaitu aktif –pasif, pemimpin-pengikut, atau hubungan setara. Menurut Freidson, model
hubungan dokter-pasien dari Schepers dan Nievaard, dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu tuntutan
pekerjaan, reaksi individu atau masyarakat terhadap jenis penyakit itu, serta faktor struktur dan
budaya.
Hal yang terpenting dari hubungan dokter-pasien adalah komunikasi. Karena komunikasi
sangatlah penting, menyangkut timbal balik yang berkesinambungan antara dua pihak. Ketrampilan
berkomunikasi harus dimiliki oleh setiap dokter, seperti mendengarkan (listening), mengulang
(parroting), dan menyimpulkan (pharapasing).
Dengan memahami komponen dan faktor yang mempengaruhi dalam interaksi sosial, maka
dapat dirumuskan pola-pola hubungan antar komponen tersebut (lihat dalam skema hubungan
dokter-pasien pada lampiran). Dan hubungan-hubungan kerja tersebut secara praktis akan terkait
dengan masalah hak dan kewajiban atau perangkat aturan dan perundang-undangan yang mengikat
pola yang dimaksudkan.
a. Hubungan dokter-pasien
Dalam penentuan treatment untuk proses penyembuhan atau penyehatan kondisi seseorang,
posisi dokter berada pada tingkat “superior”. Khusus dalam konteks pemilihan obat yang ditunjukkan
dalam bentuk “resep dokter”, seorang pasien hampir tidak memiliki reaksi yang signifikan terhadap
usulan dokter. Ini merupakan sebuah ciri bahwa relasi kekuasaan antara pasien dengan dokter sangat
tidak seimbang. Penyebab tidak seimbangnya hubungan antara dokter-pasien ini adalah perbedaan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
pengetahuan mengenai sehat-sakit dan posisi pasien  sebagai seorang yang membutuhkan bantuan
dokter yang menyebabkan posisi pasien menjadi individu yang ada di bawah (subordinat) dokter.
Terhadap kondisi seperti ini, Daldiyono memberikan keterangan tentang pentingnya usaha
pendidikan kesehatan pada pasien sehingga pasien dapat memosisikan diri sebagai pasien dihadapan
dokter, sehingga pada akhirnya hubungan dokter-pasien lebih diposisikan sebagai posisi sederajat dan
hanya berbeda dalam konteks hak dan kewajiban,
Pertanyaan yang perlu dikemukakan seiring dengan beberapa kemungkinan yang dapat
terjadi :
· Adanya kesalahan dalam memberikan obat
· Dokter dapat memberikan resep yang tepat, tetapi tidak untuk tujuan yang efektif ,
misalnya ada duplikasi obat.
· Pilihan dokter tentang obat tersebut sudah sangat tepat.
Menurut Daldiyono (2007:191-197) secara sederhana menyebutkan ada 4 (empat) teori
hubungan antara dokter dengan pasien:
1. hubungan dokter-pasien yang bersifat religius, misalnya dilandasi kesadaran bahwa
pengobatan itu bagian dari kegiatan keagamaan
2. hubungan dokter-pasienyang bersifat paternalistik, yaitu memosisikan pasien sebagai
orang yang butuh bantuan
3. hubungan dokter-pasien yang bersifat penyedia jasa dan konsumen
4. hubungan dokter-pasien yang bersifat kemitraan
Menurut Szasz dan Hollender (dalam H.Soewono) pola hubungan dokter dan pasien dapat dilihat
menjadi tiga pola, yaitu :
· hubungan orang tua dan anak, yaitu pasien yang masih perlu mendapat perlindungan dan
pembelajaran hidup.
· Hubungan antara orang tua dan remaja yaitu pasien yang bisa diajak bicara.
· Prototype hubungan antar orang dewasa yaitu pasien yang dianggap setara dan memiliki
hak individu secara mandiri.
b. Hubungan dokter-perawat ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Anwar Kurniadi (dalam sinar harapan,2004) mengatakan bahwa dokter masih menunjukkan
sikap hegemoninya dalam praktek kesehatan. Sementara peran perawat masih kurang diuntungkan.
ketidak keseimbangan interaksi antara dokter-perawat disebabkan oleh berbagai faktor,yaitu:
· Perawat pada umumnya adalah perempuan.
· Dilihat dari sisi pendidikan, perawat mayoritas berpendidikan D3 sedangkan para dokter
berpendidikan minimal S1., di tambah pendidikan profesi (spesialisasi.
· Kesenjangan relasi kekuasaan dokter-perawat terkait dengan kewenangan yang dimiliki
oleh kedua profesi.
Terkait dengan minimal ada tiga pekerjaan yang perlu dilakukan oleh pemerintah, yaitu:
1. Memberikan pendidikan kepada publik untuk mengetahui hak dan kewajibannya dalam
praktek layanan kesehatan.
2. perlu ada pendekatan kolaboratif antara dokter, perawat dan pasien untuk bersikap kritis
terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan.
3. membangun komunikasi kesehatan yang manusiawi.
c. Hubungan petugas kesehatan-masyarakat
Proses penyembuhan penyakit tidak hanya ditangani oleh dokter. Dengan meningkatnya variasi
penyakit dan kerumitan teknologi kedokteran, diperlukan bantuan tenaga lain, seperti perawat, bidan,
penata roentgen, ahli gizi,dsb. Yang kesemuanya bergabung menjadi tim petugas kesehatan.
Seperti halnya dokter, petugas kesehatan juga mempunyai karakteristik yang bisa menghambat
komunikasinya dengan masyarakat antara lain: perbedaan status sosial, budaya dan bahasa, harapan
masyarakat terhadap kemampuan petugas, serta kecenderungan sikap otoriter terutama dalam
penyebaran penyakit akut. Untuk itu diperlukan kemauan untuk mempelajari bahasa dan budaya
setempat agar petugas tidak dianggap orang asing oleh penduduk asli dan supaya komunikasi dengan
masyarakat dapat lebih lancar.
F. WACANA : Fenomena perawat di kota Cirebon
 Salah satu fenomena tenaga kerja perawat di Indonesia adalah adanya status perawat sebagai
tenaga kerja kontrak. Nasib dan perhatian pemerintah terhadap tenaga perawat kontrak ini bersifat
ambigu, di satu sisi berupaya untuk memberikan lapangan kerja, sementara di sisi lain pemerintah
belum mampu menyediakan kompensasi yang layak dan proporsional. Hal demikian dapat di lihat dari ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
dua sisi, yaitu: ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan kompensasi dan prosedur pelayanan
yang optimal kepada tenaga perawat kontrak.
Salah satu kasus yang bisa dijadikan contoh adalah kasus keterlambatan gaji pada tenaga
perawat kontrak yang ada di Cirebon yang hampir 1 tahun (pada tahun 2003). Peristiwa ini
menunjukkan adanya prosedur pelayanan pemerintah kepada tenaga kerja kontrak yang tidak
profesional, sehingga timbul keterlambatan. Selain itu upah yang diterima jauh dibawah UMR yang
sebesar Rp 625.000,-. Para tenaga kerja kontrak ini hanya mendapat gaji Rp 300.000,- perbulan
ditambah tunjangan insentif sebesar Rp 100.000,-.
Begitu banyak tantangan berat untuk menjadikan perawat sebagai pekerja profesional dan
mendapat imbalan profesi. Saat ini kondisi perawat di Indonesia memang terpuruk. Dibanding
rekannya di negara lain, bahkan sesama negara ASEAN, gaji perawat di Indonesia relative rendah,
rata-rata tingkat pendidikannya pun rendah, kebanyakan hanya lulusan Sekolah Perawat Kesehatan
(SPK). Di sisi lain pemerintah sendiri juga sedang terpuruk. Jangankan menyediakan anggaran untuk
pendidikan untuk mempekerjakan saja tidak mampu. Akibatnya, tiap tahun 13.000 dari 15.000 orang
lulusan keperawatan menganggur karena tidak terserap pasar kerja domestic, meski rumah sakit
kekurangan perawat.
Kebijakan pegawai pemerintah serta ketidakmampuan rumah sakit swasta mempekerjakan
perawat dalam jumlah memadai telah lama dikeluhkan oleh perawat. Akibatnya perawat harus bekerja
lebih dan sering mendapat kecaman dari keluarga pasien yang merasa tidak terlayani dengan baik. Di
sisi lain, tidak ada aturan yang memadai untuk melindungi perawat di tempat kerja. Lebih dari 50%
perawat dan bidan tidak mendapat pelatihan tentang keperawatan atau kebidanan klinis maupun
komunitas dalam lima tahun terakhir. Dengan demikian kesempatan untuk meningkatkan kemampuan
dan mempersiapkan diri untuk mencapai jabatan yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi
juga terbatas. Perawat sering dipersalahkan untuk keadaan yang mereka tidak pernah disiapkan dan
pelayanan kesehatan rendah sehingga citra perawat dan bidan terpuruk.
Perbaikan sistem kurikulum diharapkan mampu merubah perawat dari hanya pembantu
dokter juga menjadi tenaga kesehatan yang professional. Untuk itu Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial telah membentuk Direktorat Pelayanan Keperawatan pada Jendral Pelayanan
Medik. Kebijakan Direktorat dalam rangka meningkatkan mutu, maka menyetarakan SPK dengan D3
dengan penambahan semester dan mata kuliah, juga dari segi kurikulum. Kemudian dilakukan
pemerataan tenaga kerja perawat professional menyebar di daerah supaya tidak terjadi penumpukan di ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
kota-kota besar, membuat standar mutu keperawatan, advokasi terhadap perawat, meningkatkan
fasilitas akomodasi penunjang bagi perawat.
Untuk menjadikan hal itu terwujud diperlukan pendidikan yang berkesinambungan.
Alternative lain adalah dengan gabungan pemerintah local, konsumen dan organisasi tempat kerja
(rumah sakit). Sementara pemerintah pusat sebagai regulator untuk menjamin kepentingan local
maupun nasional.
Untuk mengatasi masalah pengangguran tenaga perawat yang mencapai 30.000 orang,
pemerintah mulai menggalakkan untuk menempatkan mereka ke luar negeri. Saat ini banyak negara
yang berminat menggunakan tenaga perawat Indonesia untuk bekerja di negara mereka. Seperti Timur
tengah, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, bahkan kini Inggris juga berminat menggunakan
tenaga kesehatan asal Indonesia. Hal ini dikarenakan para remaja di negara tersebut sudah tidak
tertarik lagi untuk masuk ke Sekolah Keperawatan. Menurut hasil pertemuan World Health Assembly
di Geneva, Swiss. Kurangnya tenaga perawat bukan masalah local  tetapi juga masalah internasional.
Hal ini menjadikan peluang sekaligus tantangan bagi negara yang surplus tenaga kerja trampil. Peluang
karena banyak peluang, tantangan karena mampukah dunia pendidikan keperawatan di Indonesia
mampu menyediakan tenaga kerja yang trampil. Namun perlu dicermati bahwa jangan sampai ada
brain drain atau mengalirnya SDM yang terbaik ke luar negeri sehingga negara pemasok kekurangan
SDM terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, Solita. 1993. Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Salemba Medika : Jakarta
BAB VI
MAKANAN: MAKNA DAN BUDAYA
1. Pengantar ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Setiap makhluk hidup pastilah membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya.
Oleh karena setiap makhluk hidup pastilah senantiasa berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan makanan. Ada suatu kelompok tertentu berpendapat bahwa hakikat hidup adalah
bekerja untuk mencari makanan. Maka tidaklah heran ketika kelompok Darwinian mengatakan
bahwa perjuangan hidup adalah untuk mendapatkan makanan. Menurut mereka, orang-orang
yang dapat mempertahankan kehidupannya hanyalah orang-orang yang mampu mendapatkan
makanan secara mudah, sedangkan orang-orang yang kesulitan mendapatkan makanan maka
orang-orang tersebut akan tersisih dari kehidupan ini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang
tertera dalam hukum rimba yaitu siapa yang dapat menguasai sumber-sumber produksi, maka
dia yang memiliki peluang untuk mempertahankan hidup yang lebih baik.
Dengan menggunakan perspektif tersebut, maka fungsi makanan adalah alat selektor bagi
kelangsungan hidup manusia karena makanan atau pola makan merupakan alat penyeleksi
alamiah bagi manusia dan pengelompokan manusia. Perbedaan kepemilikan sumber dan bahan
makanan akan membagi manusia menjadi kelompok orang kaya dan kelompok orang miskin
dan juga variasi jenis makanan menjadikan manusia berkelompok manusia modern dan
tradisional.
Beberapa hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan makanan ternyata
memberikan warna-warni kehidupan manusia yang berbeda antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain. Makanan tidak hanya menjadi benda ekonomi, tetapi makanan justru
menjadi sesuatu yang penting bagi manusia yang terus tumbuh dan berkembang dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Hal ini bila dikaitkan dengan sosial budaya, maka makanan itu ternyata
mengandung makna yang lebih luas dibandingkan hanya sekedar menjadi bahan konsumsi
manusia.
2. Persepsi Budaya dan Makanan
Peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat, yang dibagi menjadi
tiga tahapan: ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
a. Tahap pertama atau gelombang hidup pertama ditandai dengan adanya peradaban
manusia yang didominasi oleh tradisi berburu dan meramu. Pola konsumsi manusia
pada masa itu dengan memakan makanan hasil ramuan yaitu berupa
tumbuh-tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan memakan hewan hasil buruan.
b. Tahap kedua dimulai ketika terjadinya revolusi, disinilah peradaban manusia yang
lebih maju dimulai. Manusia mulai menyandarkan kehidupan mereka pada
agrikultur (bercocok tanam). Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang
dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan.
c. Tahap ketiga dimulai ketika terjadinya revolusi industri. Dengan bantuan teknologi
dan industrialisasi, berbagai jenis makanan baik olahan yang berbahan dasar
tumbuhan atau hewan maupun dengan bahan kimiawi mulai bermunculan. Pada
saat itu, manusia sudah bukan lagi hanya memakan hasil agrikultur melainkan hasil
olahan industry.
Nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat sangat mempengaruhi persepsi masyarakat
mengenai benda yang dikonsumsi. Oleh karena itu, ketika ada beberapa orang bertemu dengan
latar belakang budaya berbeda pula maka akan menunjukkan persepsi masing-masing
mengenai makanan yang dikonsumsi. Pola masyarakat modern cenderung mengonsumsi
makanan cepat saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau
tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras.
Makanan atau sesuatu yang dikonsumsi oleh manusia memiliki potensi mengandung makna
budaya yang berbeda antara budaya mayoritas (dominant culture) pada satu masyarakat
dengan budaya mayoritas yang ada dalam masyarakat lainnya.
Contoh: daun ganja bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dipersepsikan sebagai salah
satu daun psikotropika yang termasuk kategori zat adiktif terlarang di Indonesia karena bisa
membuat orang fly (memabukkan). Namun berbeda dengan masyarakat di Nagroe Aceh
Darussalam yang notabene mayoritas penduduknya Islam, telah sejak lama menjadikan daun
ganja sebagai bahan untuk menyedapkan masakan. Bagi rakyat Aceh, daun ganja adalah
sayuran dan tidak pernah mempersepsikannya sebagai makanan yang diharamkan. Kedua
persepsi tersebut, kemudian dapat menjelaskna bahwa kedua masyarakat yang berbeda
pandangan itu sesungguhnya menggunakan patokan nilai dan norma yang berlaku untuk
mempersepsikan makanan. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
3. Makanan dan Identitas Budaya
Makna budaya dari sebuah makanan menjadi sangat penting untuk dipahami oleh berbagai
kalangan. Pengetahuan seperti ini selain dapat bermanfaat untuk mengembangkan sikap bijak
terhadap persepsi masyarakat lain juga untuk menghindari gizi buruk akibat adanya kesalahan
persepsi terhadap satu jenis makanan tertentu.
Ada beberapa nilai budaya makanan yang perlu diperhatikan:
- Kebutuhan Fisiologis
Mengonsumsi makanan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
fisiologis seseorang. Oleh karena itu, usaha untuk menjaga keseimbangan gizi dan/atau
konsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna merupakan usaha untuk mendukung pada tujuan
makanan dari sisi fisiologis.
- Makanan sebagai Identitas Kelompok
Karena adanya kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak
diantara masyarakat kota yang mudah berpindah ke tradisi vegetarian. Bagi kelompok “gang”,
menghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikkan
sebagai makanan yang bias menemani orang untuk nonton sepakbola. Merokok menjadi teman
untuk menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman atau persepsi seperti ini lebih
merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counter-culture) terhadap budaya tandingan.
Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun menjadi bagian dari
budaya popular. Berdasarkan telaah ini, makanan mengandung makna sebagai
a. Identitas budaya utama (dominan culture) artinya harus ada dan menjadi kebutuhan
utama masyarakat.
b. Budaya tandingan (counter culture) artinya menghindari arus utama akibat adanya
kesangsian atau ketidaksepakatan dengan budaya arus utama. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
c. Makanan sebagai identitas budaya bagi kelompok tertentu (subculture).
- Makanan sebagai Nilai Sakral
Di luar makna budaya, dalam kehidupan masyarakat Indonesia makanan pun ada yang
mengandung nilai sakral dan ada yang mengandung nilai profan. Khusus untuk makanan yang
memiliki nilai sakral di antaranya apat ditemukan dalam beberapa agama atau budaya daera
Indonesia.
Bagi masyarakat Islam, mengonsumsi makanan tidak hanya dengan memnuhi syarat bersih
(thayyib) tetapi juga harus memenuhi syarat halal, artinya cara mendapatkan dan cara
mengolahnya sesuai degan aturan dan norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Dengan
demikian, bagi masyarakat Islam mengonsumsi makanan merupakan bagian dari praktik agama
itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan makanan mengandung nilai sakral.
- Makanan sebagai Keunggulan Etnik
Makanan merupakan unsur budaya yang membawa makna budaya komunitasnya. Di dalam
makanan itu, orang tidak hanya mengonsumsi material makanannya melainkan
”mengonsumsi” kreativitas dan keagungan nilai budaya. Tidak mengherankan bila ada orang
yang makan tahu Sumedang terasa hampa makna bila tahu itu dibeli di luar Sumedang dan
dirinya tidak pergi ke Sumedang. Makanan adalah ikon keunggulan budaya masyarakat.
Semakin variatif makanan itu dikenal publik semakin tinggi apresiasi masyarakat terhadap
daerah itu. Semakin luas distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukkan
kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat.
- Makanan sebagai Kebutuhan Medis
Mengonsumsi makanan yang mengandung kandungan gizi seimbang (misalnya 4 sehat 5
sempurna), belumlah cukup untuk membangun individu yang sehat. Dalam penelitian terakhir,
bahwa untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu perlu menambahkan makanan yang 4
sehat 5 sempurna dengan gerak. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Untuk membangun kualitas pribadi yang sehat perlu dipadukan dengan gerak atau aktivitas
olahraga. Pandangan sejalan dengan pandangan, tri-energetik yang memberikan penekanan
pentingnya energy tubuh atau gerak dalam membangun jiwa dan pribadi yang sehat. Pada
konteks inilah makanan merupakan bagian dari kebutuhan medis.
4. Nilai Norma Makanan
- Makanan yang memiliki nilai pokok (wajib). Yang dimaksud wajib ini, makanan pokok
dari sebuah komunitas.
-  Makanan yang memiliki nlai anjuran (sunnah), yaitu komoditas makanan yang
merupakan tambahan/suplemen.
- Makanan yang memiliki nilai mubah, makanan ini sesungguhnya belum diketahui efek
positif atau negatifnya bagi kesehatan.
- Makanan yang memiliki nilai pantangan. Karakter pantangn ini bersifat sementara,
misalnya seseorang yang akan dioperasi memiliki pantangan terhadap suatu makanan.
- Dalam kategori yang terakhir yaitu pantangan mengonsumsi sebuah makanan yang
bersifat permanen. Dalam ajaran agama, terdapat beberapa jenis makanan-minuman
yang dilarang dikonsumsi secara permanen.
5. Frustasi ekonomi dan perilaku konsumsi
Tekanan hidup dan tantangan menyebabkan seseorang dapat melakukan penyimpangan.
Perilaku menyimpang ini yaitu munculnya perilaku memperdagangkan makanan yang tidak
layak jual dan konsumsi secara medis. Akibatnya banyak konsumen yang keracunan setelah
membeli makanan. Namun yang menjadi perhatian kita adalah keracunan yang sering terjadi,
berulang dan kolektif. Pada akhirnya kejadian ini merupakan fenomena soaial yang perlu kita
teliti. Sebab keracunan sendiri bukan hanya bias  ditafsirkan secara medis tetapi bisa juga ada
sebab lain mengapa keracunan itu terjadi. Berdasarkan pandangan ini ada dua hal yang perlu ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
diungkap dengan cermat yaitu pola konsumsi dan tradisi pemasaran makanan. Pola konsumsi
terkait dengan perilaku konsumsi masyarakat,sedangkan tradisi pemasaran masyarakat terkait
dengan perilaku distributor atau produsen dalam memasarkan makanan.
Contoh kasus yang terjadi terkait dengan pemasaran adalah parsel yang mengandung makanan
dan minuman yang telah kadaluarsa. Ini menunjukkan lemahnya kepekaan dan kepedulian di
kalangan distributor terhadap kesehatan masyarakat. Dengan kata  lain adalah mereka lebih
mengedepankan kepentingan ekonomi dari pada keselamatan dan kesehatan masyarakat.
Contoh lainnya adalah kasus transaksi ayam tiren. Munculnya transaksi ayam tiren disebabkan
oleh beberapa hal yaitu : (a) kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan makanan,
(b) adanya kefrustasian masyarakat karena tekanan ekonomi ,serta (c) rendahnya tanggung
jawab peternak/penjual terhadap kesehatan masyarakat. Dilihat dari sisi social kasus tersebut
menunjukkan adanya bahwa masyarakat sedang mengalami “sakit”. Suasana frustasi ekonomi
menjadi pendorong distributor/penjual menjual ayam yang tak layak dikonsumsi.
Masalah lain yang timbul adalah busung lapar yang terjadi akibat ketidakmampuan daya beli
masyarakat. Akibatnya mereka mengkonsumi makanan secara asal-asalan. Sehingga angka
kecukupan gizi untuk tubuh tidak terpenuhi.
Keracunan makanan juga terjadi di pabrik. Terkait dengan peritiwa ini ada beberapa hal yang
perlu dikemukakan yaitu : (1) perlu adanya kesadaran penuh dari si penggiat kegiatan untuk
memahami kualitas makanan, (2) diperlukan kesadaran para distributor terhadap keselamatan
masyarakat dengan meneliti tanggal kadaluarsa makanan ,(3) pada institusi social yang
mengeluarkan kebijakan memberi makan karyawan seharusnya memiliki tim khusus yang
bertanggung jawab tentang  kesehatan makanan bagi karyawan.
Di sisi lain dampak kefrutasian ekonomi berdampak pada perilaku masyarakat dalam pola
makan. Masyarakat menjadi apatis dan tidak peduli pada angka kandungan gizi makanan yang
dikonsumsi. Perilaku ini yang juga menyebabkan kasus polio dan gizi buruk. Melihat banyak
dampak kefrustasian ekonomi dengan perilaku konsumsi masyarakat maka perlu adanya usaha
untuk memperbaiki keadaan di masyarakat. Usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan
melakukan promosi kesehatan tentang makanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat mengenai gizi dan pola konsumsi masyarakat yang lebih baik. Selain
pemerintah industri dan distributor makanan juga harus menunjukkan tanggung jawab ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
sosialnya ke masyarakat dengan meminimalisasi peredaran makanan yang tak layak konsumsi.
Gerakan promosi kesehatan  ini  perlu dilakukan secara sinergis,kolektif dan berkelanjutan
agar masyarakat peduli pada gizi makanan.
6. Peradaban Alkoholik
Konsumsi minuman keras telah menyebar luas, bukan hanya di kalangan remaja tetapi sidah
merambah ke anak-anak di bawah umur,orang tua, elebritis dan elit politik. Kasus yang terjadi
di Perancis akibat dampak alkohol :
menunjukkan 20% wanita dan 60% pria masuk rumah sakit,70% penderita penyakit jiwa dan
40 % penderita veneral parah. Angka kematian mencapai 20.000 jiwa per tahun , 25%
kecelakaan industri  dan 57% kecelakaan jalan raya.
Selain di Perancis kasus penyalah gunaan alcohol juga terjadi di Inggris bahwa 95% kasus
penyakit mental disebabkan oleh alcohol. Sedangkan di Jerman dilaporkan bahwa 150.000
kasus criminal akibat alcohol. Dan Uni Soviet , kasus alkoholisme menyebabkan meningkatnya
tingkat criminal,peningkatan absent dari pekerjaan pabrik dan menurunnya hasil produksi.
Sedangkan di Amerika, pengaruh alcohol merupakan penyebab dari kebanyakan tabrakan
udara. Hal ini dilakukan oleh pilot sewaan atau pemilik pesawat dan helicopter pribadi.
Peningkatan kasus tabrakan pesawat ini menyebabkan pemerintah berkeras untuk mengetahui
akar permasalahan dan penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar tabrakan sepanjang
tahun lalu disebabkan oleh mabuknya pilot atau keterlibatan mereka dalam perilaku seksual
sebelum melakukan penerbangan.
7. GAYA HIDUP DAN GAYA MAKAN
Perkembangan teknologi informasi dan industri, tidak hanya memberikan pengaruh terhadap
dunia ekonomi. Efek langsung dan tidak langsung dari kemajuan peradaban manusia ini, terasa ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
pula dalam bentuk perubahan gaya hidup. Pada suatu saat mungkin sempat melihat ada
seorang istri dalam mobilnya duduk di samping kiri suaminya yang sedang memegang setir
mobil menyuapi suami untuk makan pagi. Atau melihat anak kecil yang mau berangkat sekolah
disuapi makan dalam kendaraan sepanjang perjalanan sekolah. Inilah sebagian dari realitas
gaya hidup zaman modern yang terkait dengan makanan.
Tidak mengherankan bila kemudian muncul penyakit tipus atau maag karena tidak adanya
sikap disiplin dalam pola makan. Dalam budaya kota muncul diversifikasi makanan sesuai
dengan waktunya. Di kalangan mereka muncul pemahaman yang biasa dikonsumsikan pada
pagi, siang, dan malam hari, ada makanan pembuka, pokok, dan penutup serta ada makanan
yang dikonsumsikan pada hari-hari tertentu misalnya ketupat pada hari lebaran, cokelat pada
Valentine’s day.
Berbeda dengan makanan sebagai keunggulan etnik dalam gaya hidup modern ini ada makanan
yang dianggapnya sebagai budaya universal. Makanan cepat saji atau fast food merupakan satu
diantara sekian banyak jenis makanan yang muncul ke permukaan sebagai makanan global.
Prinsip hidup dalam identitas gaya hidup modern adalah :
1. Mengutamakan efisiensi,artinya cepat saji.
2. Prinsi kuantitatif artinya jelas porsinya.
3. Mudah prediksi, artinya gampang menebak kapan berakhirnya.
4.Adanya control.
Budaya dan gaya hidup itulah yang kemudian disebut sebagai orang yang mengalami demam
makanan cepat saji.
8. PURNAWACANA
Masalah-masalah yang terkait dengan perilaku manusia terhadap makanan.
a. Pada kasus anak-anak ada fenomena kesulitan untuk mengajari anak makan atau dalam
kasus lain yaitu adanya keenggenan anak untuk mengonsumsi makanan tertentu.  ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Jawabannya, pertama, adanya ketidakseimbangan atau keterlambatan orang tua
memperkenalkan variasi rasa dan makanan menyebabkan peluang adanya penolakan anak
terhadap rasa atau makanan tertentu.
Kedua, adanya trauma atau alergi terhadap makanan tertentu.
b. Kesalahan persepsi tentang makanan. Contohnya , budaya ngemil menjadi bagian dari
gaya hidup modern, yang dipersepsi sebagai upaya menenangkan rasa atau pikiran oleh
karena itu,orang stress bias melepas kekesalannya dengan makanan.
c. Makanan dan kelas social.
Bahwa, makanan yang dikonsumsi dapat diakses oleh siapapun tetapi waktu dan tempatnya
mengonsumsi menunjukkan kelas social.
Daftar Pustaka
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
BAB VII
SIKLUS HIDUP, KESEHATAN dan PERAN SOSIAL
Pendekatan yang digunakan ini, dikembangkan dari model yang dikembangkan oloh Departemen
Kesehatan RI saat menjelaskan tentang kesehatan reproduksi. Bila disederhanakan, pendekatan siklus
hidup yang dikembangkan tersebut dapat diformulasikan ulang sebagai berikut.
Masa Kehamilan
Meninggal dunia Masa konsepsi:
Manula Balita
Anak-anak
Dewasa
Remaja ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Ada beberapa aspek sosial yang: terkait dengan masa kehamilan ini.
1. Peran kehamilan dapat dimaknai sebagai peran awal  perekat sosial. kehamilan atau lebih
khusus lagi kehadir anak rnerupaka perekat sosial dalam sebuah masyarakat.
2. Tingginya harapan (ekspektasi) suami atau anggota keluarga terhadap  bayi yang.ada dalam
kandungan, menyebabkan tingginya (malahan berlebihannya) perlakuan anggota keluarga
terhadap ibu hamil. Oleh karena itu, seorang ibu hamil diposisikan setara dengan orang "sakit",
sehingga peran sosialnya dihapuskan dari tanggung jawab si ibu hamil. Pandangan Parson
mengatakan bahwa peran pasien itu adalah dibebaskan dari tugas-tugas sosial. Akibat dari
kondisi seperti ini, ibu bamil mendapat keistimewaan-keistimewaan khusus, baik dari sisi
pemanjaan diri, kewajiban sosial, makanan, dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
3. Dalam konteks ini "ngidam" merupakan "instrumen khusus" yang menjadi alat ukur
membangun kewajiban baru orang lain untuk memosisikan ibu hamil sebagai “ratu dalam
kehidupan”.
4. Ada yang berpendapat bahwa bila seorang ibu hamil memiliki kebutuhan makan yang lebih
karena dia mengonsumsi makan untuk dua orang.  Reaksi sosial dari kebutuhan ini, banyak ibu
hamil yang mewujudkannya dalam bentuk ngemil. Padahal ngemil dengan kebutuhan makan
yang cukup adalah berbeda. Artinya seorang ibu hamil tidak mesti ngemil. Sepanjang
kebutuhan asupan gizinya cukup, maka ngemil pun menjadi tidak diperlukan.
Masalah kesehatan yang spesifik dari ibu hamil di antaranya (a) mendapatkan pelayanan antenatal
dengan baik dan teratur, (b) memperoleh makanan bergizi dan cukup istirahat, (c) mendapatkan
ketenangan dan kebahagiaan, (d) memperoleh persediaan biaya persalinan dan rujukan ke rumah sakit
bila teriadi komplikasi.
Seringnya terjadi kematian lebih banyak disebabkan karena tingginya pendarahan. Selain itu, ada juga
penyebab lain yang bisa menimbulkan kematian pada ibu hamil adanya 4 terlalu: (terlalu muda, terlalu
tua, terlalu sering, dan terlalu banyak). Kondisi ini kemudian didukung oleh adanya 3 terlambat
(terlambat mengenali tanda-tanda, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapat
pertolongan).
Masa Balita
Dalam masa pertumbuhan, proses tumbuh kembang anak anak balita (1-4 lahun) dipengaruhi oleh
proses pertumbuhan semasa bayi, dan selanjutnya akan memengaruhi proses tumbuh kembang pada
usia sekolah dasar (6-12 tahun).
1. Peran bayi adalah belajar mengenal bahasa tubuh dan isyarat dari luar dirinya.
2. Peran untuk diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat. Seorang bayi sangat
membutuhkan sentuhan halus anggota keluarga dan perhatian yang saksama dari orang lain.
Pada masa ini, ada beberapa masalah kesehatan yang perlu diperhatikan misalnya ASI eksklusif
dan penyapihan yang layak, tumbuh kembang anak, pemberian makanan dengan gizi seimbang,
imunisasi dan manajemen terpadu balita sehat, pencegahan dan penanggulangan kekerasan, serta
pendidikan dan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
Masa Anak-anak ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Pada masa ini, pendidikan sosial yang terjadi pada masa balita, memiliki peran nyata dalam
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.
Menurut Sulivan (1892-1949) hal yang penting diketahui bahwa fase anak-anak ditandai_dengan anak
mulai dapat mengucapkan kata-kata hingga timbulnya kebutuhan terhadap kawan bermain.
Ada_beberapa peran sosial yang di munculkan anak-anak dalam kehidupan masyarakat.
Pertama. dalam mengembangkan kepribadiannya secara utuh setiap anak memiliki hak untuk
mendapatkan ruang main dan ekspresi yang sesuai dengan dirinya.
Kedua. anak adalah tanda sosial dari keluarga. khususnya ibu dan anak. Pertumbuhan dan
perkenbangan fisik dan sosial anak. dibaca sebagai bagian dari peran nyata orang tua dalam
memberikan pelayanan kepada anak-anaknya.
Ketiga, anak adalah kandidat dari pemegang amanah harapan atau impian orang tuanya.
Keempat, sebagaimana yang terjadi pada peran bayi, kehadiran anak ini memperkuat nilai solidaritas
dalam keluarga.
Kelima, memiliki nilai sosial yang tinggi, baik untuk nilai ekonomi maupun nilai sosial.
Sehubungan dengan ini, perlu diperhatikan pula beberapa masalah kesehatan yang bisa hadir pada fase
anak-anak misalnya kesulitan anak untuk makan karena terobsesi ingin main, asupan gizi yang tidak
seimbang, rentannya_fisik anak terhadap berbagai penyakit seperti polio dan DBD, dan ancaman
keracunan makanan akibat dari kebiasaannya makan makanan di luar.
Mr.sa Reinaja
Pada masa remaja(adolescens), selain pertumbuhan yang cepat (growth spurt), juga timbul
tanda-tanda seks sekunder, serta diakhiri dengan berhentinya pertumbuhan.
Beberapa masalah kesehatan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan remaja termasuk kesehatan
reproduksi kalangan remaja adalah sebagai berikut.
a. Masalah gizi
b. Masalah seks dan seksual
c. ada munculnya aneka ragam pola atau gaya hidup remaja.
Masa Dewasa
Secara psikologis tahap perkembangan ini dikategorikan sebagai tahap kematangan (maturity), dewasa
dalam arti pengembangan diri maupun dalam konteks sosial. Seiring dengan hal ini, ada beberapa
peran sosial yang dikembangkan dalam masa dewasa.
1. Orang dewasa sudah memiliki tugas dan kewajiban diri dalam membangun komunitas, baik
dalam skala kecil (keluarga;, pertemanan, maupun dalam konteks kemasyarakatan.
2. Dalam masyarakat Timur, seorang yang sudah dewasa sudah rnulai memikirkan mengenai
masa depan, baik masa depan ekonomi maupun masa depan sosialnya.
3. Pada sisi kesehatan, masa ini termasuk dalam kategori matang Kendati demikian. perlu
diperhatikan perkembangan ke arah meno-andropause, penyakit degeneratif termasuk rabun, ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
gangguan mobilitas dan osteoporosis, serta perlu adanya deteksi dini terhadap kanker rahim
dan kanker prostate, yang.akan muncul diakhir penghujung usia dewasa.
4. Dalam sosiologi pada umumnya, telah banyak dikenal hahwa pada masa dewasa ini merupakan
masa perkawinan atau berkeluarga. Fungsi keluarga menurut sosiologi yaitu (a) fungsi afeksi,
yaitu membangun dan mengembangkan nilai dan norma masyarakat, (2) fungsi reproduksi.
yaitu befungsi untuk memiliki keturunan. (3) fungsi sosialiasi, artinya keluarga menjadi
lembaga belajar pertama dan utama untuk bermasyarakat. (4) fungsi pengaturan seksual,
artinya bagi seorang yang sudah dewasa mereka mulai meyakini dan menunjukkan peran
seksualnya dihadapan orang lain, (5) fungsi penentuan status: artinya di lingkungan keluarga
ini setiap anak --khususnya-- mendapat pembelajaran mengenai status diri dan status sosial. (6)
fungsi perlindungan, artinya dalam keluarga ini ada upaya untuk membangun perlindungan
antara satu dengan yang lainnya, dan (7) fungsi ekonomis, artinya para anggota keluarga
--khususnya orang tua--memiliki peran sosial untuk memberikan layanan kebutuhan ekonomi
kepada anggota keluarganya.
Masa Usia Lanjut
Menurut teori Penarikan Diri (Disengagement Theory), usia lanjut merupakan proses yang bergerak
secara perlahan dari individu untuk menarik diri dari peran sosial atau dari konteks sosial. Pada usia
lanjut sekaligus terjadi triple loss, yaitu (a) kehilangan peran (toss of role), (b) hambatan kontak
sosial(restriction of contacts and relationships), dan (c) berkurangnya komitmen [reduced
commitment to sosial moves and values).
Peran individu usia lanjut ini dapat ditemukan dalam beberapa hal sosial berikut.
Pertama, menjadi orang lanjut usia memiliki hak untuk menarik diri dari peran-peran sosial.
 Kedua, memunculkan peran orang lain untuk menunjukkan peran dan kepeduliannya terhadap individu
lanjut usia.
Ketiga, setelah menginjakkan diri pada usia lanjut, seorang individu akan memulai untuk melepaskan
hak dan kepemilikannya terhadap berbagai sumber produksi.
Masalah kesehatan lanjut usia, ada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan fenomena yang
sama. yaitu lingkaran kehidupan negatif (negative life cycle) dan lingkaran kehidupan positif (positive
life cycle).
Kapasitas fisik,
mental dan sosial
Dicap sebagai
orang yang tak
mampu atau
Pengakuan diri
sebagai orang
Berkembangnya
peran sakit dan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Gambar.
Lingkaran Kehidupan Negatif
(Sumber: Hardywinoto dan Tony Seiiabudhi, 2005, him.125)
negative life cycle, individu lanjut usia dipersepsi sebagai individu yang mengalami pengurangan
ketahanan fisik, mental dan peran sosial. Dan kemudian anggota keluarga atau masyarakat mencapnya.
Sebagai individu yang sudah memasuki masa kurang produktif dan memiliki ketergantungan yang
tinggi pada orang lain.
positive life cycle yang melihat fase lanjut usia sebagai kelanjutan dari peran sosial masyarakat di
masyarakat. Dalam lingkaran kehidupan positif, misi utamanya adalah mempertahankan keutuhan dan
kesatuan, pada lanjut usia. Oleh karena itu, upaya intervensi baik dari sisi medis, sosial medis, sosial,
dan pendidikan menjadi sangat penting bagi individu lanjut usia.
Gambar 13.2
Masukan pendidikan:
kursus sebelum dan
Masukan sosial medik:
dukungan makanan,
Masukan medik:
diagnosa dan
Lingkungan yang
mendukung
Peran di masyarakat
cap sebagai orang
Kemampuan emosi
dan dukungan
Masukan sosial:
mempertahankan
Keberadaan yang
nyaman dan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Lingkaran Kehidupan Positif
(Sumber: Hardywinoto dan Tony Setiabudhi, 2005, hlm. 125)
Masa Menjelang dan Setelah Kematian
Individu yang berada pada fase menjelang kematian (sakaratul maut) susungguhnya masih tetap
sebagai anggota masyarakat dan bahkan dalam konteks budaya, orang yang sudah meninggal dan
dikuburkan pun masih dianggap sebagai bagian dari anggota masyarakat dan berhak untuk
mendapatkan peran dan/atau hak sosialnya sendiri.
Norman W. Rigth (2000:156) merinci ada 6 tahap tanggapan seseorang ketika kehilangan orang yang
dicintainya. Tahapan tersebut yaitu (1) terguncang dan menangis, (2) merasa bersalah, (3) memusuhi,
misalnya memusuhi dokter atau perawat yang tidak mampu menyelamatkannya, (4) melakukan
kegiatan dengan gelisah, (5) hilangnya makna-makna kegiatan yang biasa, dan (6) mengidentifikasi diri
dengan orang lain yang meninggal, misalnya dengan memunculkan keinginan untuk melanjutkan
program dari orang yang meninggal. Granger Westberg memperluas 6 tahap Tersebut dalam 10
dukacita, yaitu guncangan, pelepasan emosi. depresi dan kesepian, susah gelisah, perasaan bersalah,
perasaan bermusuhan dan dendam, ketidak mampuan melakukan kegiatan yang lazim, harapan, dan
perjuangan untuk mernperkokoh realitas.
Engel (1964) mengidentifikasikan enam tingkatan berdua, yaitu syok, tidak yakin, mengembangkan
kesadaran diri, restitusi mengatasi kehidupan, idealisasi dan hasil. Schulz (1978) membagi proses
berduka ke dalam tiga fase, yaitu fase awal, pertengahan, dan akhir.
Mengenai tahapan seseorang ketika mendekati ajal (kematian) terdapat tahapan-tahapan psikologis
yang terjadi.
Pentama, penolakan terhadap kenyataan.
Kedua, mcngalami depresi.
Ketiga. setelah adanya komunikasi dan interaksi dengan berbagai pihak muncul sebuah kesadaran
baru.
Keempat, dengan kesadaran yang penuh, orang yang sedang sakit keras ini atau menjelang sakaratul
maut ini akan memohon izin untuk dilepaskan dari berbagai tanggung jawab sosialnya, baik yang
menyangkut masalah kekayaan atau keluarga dan peran sosialnya.
Kelima. setelah melakukan hal tersebul, sampailah pada kerelaan diri untuk memutuskan tanggung
jawab diri terhadap diri. keluarga, dan masyarakatnya.
Penutup ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Siklus hidup ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan fenomena sosial secara umum. Dengan kata
lain, siklus dapat dimaknai dari sisi yang berbeda-beda sesuai dengan perspektif yang digunakannya.
Dengan sedikit pengembangan penafsiran ke dalam konteks wacana, dapat dilihat pandangan Hooyman
dan Kiyak (dalam Wan Ahmad, 2000).
Pertama, dari sisi kronologi-astronomis. Siklus hidup dimaknai sebagai perjalanan individu mulai masa
kehamilan, kelahiran pada 0 tahun, anak-anak, remaja, sampai kematian menjelang.
Kedua, siklus hidup dilihat dari perkembangan dan perubahan fisik/biologis atau anatomi. Dalam
pemahaman ini, yang dimaksud siklus hidup itu lebih diorientasikan pada pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel biologis dalam diri individu.
Ketiga, siklus hidup dilihat dari sudut pandang psikologis. Perkembangan hidup individu dilihat dari
sisi persepsi dan fungsi-fungsi mental seseorang dalam hidup dan kehidupan.
Keempat, siklus hidup dimaknai dari sisi sosial, yaitu melihat peran sosial individu di masyarakat.
Dan kematian peran sosial, adalah bila dirinya menarik diri dari situasi sosial dan kemudian hidup
dalam kesendiriannya. Beberapa ciri kegagalan sosial dari individu ini, yaitu (1) anggota masyarakat
sudah tidak mempertimbangkan kehadiran atau ketidak hadiran dirinya di masyarakat dan (2) sudah
tidak mampu menunjukkan peran nyata dalam proses komunikasi atau interaksi sosial.
BAB VIII
Di masyarakat kita bahkan didunia global seperti ini, praktek layanan kesehatan
sudah cepat berkembang. Dengan mencermati apa yang sedang terjadi hari ini, kita
hamper sepakat bahwa sudah terdapat variasi sistem medis yang berkembang didunia.
Keanekaragaman sistem medis dapat merujuk pada sistem medis modern, tradisional
dan yang berbasiskan pada nilai-nilai agama atau nilai budaya.
Dalam ilmu sosial sudah banyak yang berusaha menjelaskan istilah sistem,
berikut beberapa tokoh yang mengemukakan pendapat mengenai sistem:
1. Tatang M. Amirin (1984: 1)
Yaitu sistem berasal dari bahasa Yunani, Systema yang mengandung
makna:
a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian,
b. Hubungan yang berlangsung antara kesatuan-kestuan atau komponenen
secara teratur,
2. Djekky R. Djoht ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Sistem adalah agresi atau pengelompokan obyek-obyek yang dipersatukan
oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung,
sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh
alam atau seni sehingga membentuk suatu keseluruhan yang integral dan
berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam satu kesatuan.
3. Umar Fahmi Achmadi (2005:57)
Sistem adalah tatanan yang menggambarkan adanya rangkaian berbagai
komponen yang memiliki hubungan serta tujuan bersama secara serasi,
terkoordinasi yang bekerja atau berjalan dalam jangka waktu tertentu dan
terencana.
Pandangan yang lain mengatakan bahwa pengertian sistem dapat dibedakan
kedalam dua makna, yaitu:
a. Sistem sebagai suatu atau benda yang terdiri atas sejumlah bagian yang
memiliki tata cara atau susunan tertentu,
b. Sistem sebagai sebuah rencana, metode, alat, atau tata cara untuk
mencapai sesuatu.
Sebagai sebuah sistem, sistem medis merupakan sub-sistem dari sistem sosial
yang lebih luas. Kehadiran sistem medis ada dalam bingkai sistem sosial dan tidak bisa
dipisahkan dari sistem sosial kemasyarakatan yang lainnya. Dalam konteks ini, maka
sistem medis merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki fungsi untuk
memenuhi satu aspek kebutuhan manusia pada umumnya.
A. SISTEM ETNOMEDIS
Sistem medis pertama yang akan dikaji yaitu, sistem medis yang
bersumber pada pengetahuan budaya. Konsep yang digunakan dalam ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
wacana ini yaitu, Sistem medis budaya atau etnomedis yaitu Konsep
etnomedis merujuk pada model pengobatan yang banyak digunakan
oleh sebuah komunitas atau masyarakat tertentu. Seiring dengan
pemahaman ini, maka penyakit merupakan persepsi budaya individu
sesuai dengan anutan budaya komunitasnya. Oleh karena itu secara
sederhana penyakit dapat dimaknai sebagai gangguan hidup.  Adapun
sumber penyakitnya bisa berasal dari salah makan, salah perilaku dan
atau gangguan dari makhluk supranatural.
Anderson dan Foster menyebut fenomena ini dengan istilah
sistem medis yang berlandaskan pada teori Personalistik, artinya
penyakit atau kehadiran penyakit pada diri individu disebabkan karena
ada factor “oknum” diluar fisik yang mengganggu individu tersebut.
guna-guna atau sihir merupakan salah satu bentuk penyakit tradisional
yang dilandaskan pada pola pikir personalistik lebih jelasnya Anderson
dan Foster berpendapat bahwa, konsep penyakit (disease) pada
masyarakat tradisional dibagi menjadi dua kategori umum yaitu:
a. Personalistik, munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh
intervensi dari suatu agen yang aktif dapat berupa makhluk
supranatural (makhluk gaib, atau dewa) makhluk yang bukan
manusia (hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun makhluk
manusia (tukang sihir, tukang tenung)
b. Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah
yang sistematik dan bukan pribadi. Naturalistic mengakui
adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi karena
unsure-unsur yang tetap didalam tubuh seperti panas, dingin,
cairan tubuh berada didalam keadaan seimbang menurut usia
dan kondisi individu dalam lingkungan alamnya dan
lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan terganggu, maka
hasilnya adalah penyakit.
Kehadiran sakit atau penyakit dilingkungan masyarakat
tradisional selain disebabkan oleh karena adanya kesalahan perilaku
dirinya dalam bertingkah juga disebabkan karena adanya perbuatan yang
melanggar aturan kosmologis. Oleh karena itu penyakit dianggap
sebagai sebuah hukuman atau teguran dari dewa kepada para pelaku
pelanggar aturan dewa. Dengan kata lain sakit dan penyakit merupakan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
satu bentuk control sosial dari sistem nilai budaya yang diyakininya
kepada masyarakat penganutnya.
B. SISTEM MEDIS RASIONAL – EMPIRIS
Jean-Francois Sobiecki menjelaskan bahwa asal-usul sistem
medis barat adalah dikembangkan dari model Cartesian yang bersifat
dualisme, yaitu manusia sebagai makhluk yang terdiri atas mind (body),
spirit (matter), dan real (unreal).
Sistem medis ini disebut sebagai satu sistem medis di dunia barat
yang menyandarkan pada tradisi pemikiran Yunani. Cirri utama dari
sistem medis Rasional – Empiris ialah : dengan menggunakan pola pikir
rasional yang berdasarkan pengalaman empiris, sebagai landasan
pengembangan sistem medis.
Menurut Daldiyono, penyakit merupakan suatu keadaan atau
kondisi tubuh dimana terdapat kerusakan organ tubuh. Karena ada
kerusakan, dengan sendiri timbullah rasa sakit. Rasa sakit akibat
kerusakan organ disebut gejala penyakit, sedangkan adanya kerusakan
organ yang biasanya perlu dideteksi oleh dokter disebut tanda penyakit.
Menurut pandangan Daldiyono, teori timbulnya penyakit cukup
bervariasi, antara lain:
a. Penyakit timbul karena ada bakteri dan lazim disebut infeksi.
b. Penyakit muncul karena ada pengaruh perubahan cuaca.
c. Penyakit timbul karena factor yang ada dalam tubuh
manusia, misalnya hipertensi atau tekanan darah tinggi.
d. Penyakit dapat muncul karena ada 3 faktor penyebab
sebelumnya bertemu dalam satu kondisi yang disebut ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
sebagai Trias Epidemologi, yaitu lingkungan, manusia
(endogen), dan factor luar (eksogen).
Berdasarkan pemikiran ini, dapat disebutkan bahwa dalam
sistem medis, sakit dan sumber penyakit itu adalah sesuatu hal yang
masuk akal (rasional) dan empiris. Cara pengujian dan pemecahan
masalahnya dilakukan secara ilmiah, sesuai dengan metode ilmiah dan
dapat diuji secara berulang.
C. SISTEM MEDIS KEAGAMAAN
Sistem medis keagamaan bersumber pada ajaran agama yang
berasal dari kitab suci. Tetapi ada juga sistem medis yang bersumber
dari agama yang bukan agama revelation (ilmu wahyu) disebut dengan
istilah religio-medicine.
Salah satu contoh religio-medicine yaitu sistem medis yang
berkembang di negeri Hindustan, yang berpangkal pada ajurveda dan
samkya darsana.
Menurut falsafah tersebut, penyakit dibagi menjadi 3golongan
yaitu :
a. Adyatmika, penyebab yang interinsik atau berasal dari tubuh dan
pikiran si penderita sendiri.
b. Adhibhantika, penyakit ekstrinsik atau berasal dari luar tubuh
sperti kecelakaan dan digigit ular.
c. Adhidarvika, penyebab penyakit yang berasal dari kekuatan super
natural, misalnya pengaruh atmosfer, planet dsb.
Islam adalah salah satu sistem medis yang termasuk ke dalam
kategori sistem profetik. Sistem medis ini bersifat supranatural sehingga
konstruksi ilmu kesehatannya cenderung merupakan bagian dari upaya
deduksi pengetahuan keagamaan kedalam pengetahuan empiris.
Beberapa Unsur Universal Dalam Sistem Medis ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Dalam bagian ini, Anderson dan Foster mengatakan ada beberapa unsure universal
dalam sistem medis, antara lain:
a. Sistem medis adalah bagian integral dari kebudayaan.
b. Penyakit ditentukan oleh kebudayaan.
c. Semua sistem medis memiliki segi pencegahan dan pengobatan.
d. Sistem medis memilki sejumlah fungsi, anatara lain sebagai sebuah
pengobatan rasional memberikan penjelasan terhadap resiko yang
melanggar norma budaya (misal sex bebas berresiko terkena penyakit
Aids).
Unsur Pembeda
Perbedaan sistem medis modern dan tradisional
Aspek Modern Tradisional
Sifat keilmuan
Empiris Spiritual, magic,
irasional
Bisa dipelajari Pewarisan dan pelatihan
Ada sertifikasi formal Pengakuan
Percaya pada rasio dan
teknologi
Percaya pada kekuatan
supranatural
Teknologi
Mengalami
industrialisasi
sederhana
Sifat praktik/pelaku
Spesialisasi (dokter
spesialis)
Baur (seorang pelaku
bisa mengobati banyak
hal)
Seleksi dan pendidikan
formal
Seleksi sosial
Kompensasi material Kompensasi sosial,
moral, juga materi. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Antara sistem medis yang satu dengan sistem medis yang lainnya memilki aspek atau
unsur yang berbeda, diantaranya :
a. Asumsi kausalitas. Sistem medis barat, sanafat yakin terhadap hukum
kausalitas material, sedangkan sistem medis tradisional percaya pada
hukum kausalitas non material atau personal.
b. Sifat keilmuan. Dikalangan medis rasional ilmu kesehatan bersifat
empiris, bisa dipelajari dan percaya pada rasio dan teknologi. Sedangkan
pada sistem medis tradisional, ada percampuran antara rasional dan
irasional, empiris dan mistik.
c. Sehat dalam sistem medis etnik (China dan India), adalah upaya
penyeimbangan dengan sitem kosmos (yinyang, dosa, dan penebusan)
dalam sitem medis barat adalah menghilangkan material asupan dalam
tubuh.
d. Sistem medis rasional didapat dari pembelajaran dan bersifat terbuka
seperti pendidikan kedokteran, kebidanan dan keperawatan. sedangkan
dalam sistem medis tradisional selain sitem belajar masih diyakini
pentingnya komunikasi dengan hal supranatural. Oleh karena itu ilmu
kesehatan tradisional cenederung diwariskan.
Multikulturalisme Layanan Kesehatan
Dalam analisis Whitney dan Sigler, hubungan antara dokter dan perawat, cenderung
mengambil posisi top-down. Dokter diposisikan atau memosisikan diri “lebih” dibandingkan
dengan posisi sosial atau kewenangan perawat.
Sementara ditingkat makro, stratifikasi layanan pengobatan itu terjadi  karena adanya
interpretasi mengenai status lembaga layanan pengobatan. dalam temuan penelitian konsep
alternative dan konsep tradisional menyebabkan adanya peyorasi ( pelemahan) status sosial
dari makna pranata kesehatan tersebut dihadapan pranata kesehatan modern.  Sebagian
masyarakat menganggap bahwa model pengobatan alternative atau pengobatan tradisional
merupakan kelas “kedua” dibandingkan dengan pengobatan modern. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Standar teknologi, keilmiahan dan kapabilitas pelaku pengobatan, menjadi salah satu
variable untuk mengukur kelas sosial dari pranata pengobatan itu sendiri. Misalnya, seorang
dokter yang berpendidikan sarjana diposisikan sebagai sebagai kelas sosial yang lebih unggul
dibandingkan perawat yang hanya berpendidikan diploma. Seorang tabib yang mendapatkan
kemampuan pengobatan secara otodidak diposisikan sebagai kelas kedua dihadapan dokter
yang memiliki kemampuan pengobatan dari lembaga pendidikan.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian yang dilakukan tahun 2007
dikota Bandung, ada beberapa gejala pergeseran nilai di lingkungan masyarakat,  Pertama,
diversifikasi kewenangan. Otoritas pengobatan, kini tidak hanya di lingkungan pengobatan
modern. rumah sakit, dokter dan perawat bukanlah pemegang otoritas pelaku atau sarana
pengobatan bagi masyarakat. Kedua, Adanya pengembangan reproduksi makna dan pranata
pengobatan. Masyarakat memproduksi makna tabib, pengobatan alternatif dan tradisi dalam
makna yang baru. Sehingga, layanan kesehatan tidak harus kedokter dirumah sakit, melainkan
dapat pula dilakukan di luar instansi tersebut.
Dalam pandangan Giddens, reproduksi sosial terjadi karena ada struktur dan praktik
sosial yang dilakukan oleh individu atau masyarakat (priyono, 2003:27). Oleh karena itu
munculnya pranata kesehatan tradisional, bukanlah hanya karena tekanan struktur, tetapi juga
karena ada praktik sosial masyarakat dalam merespons produk sosial itu sendiri.
Proses transformasi dari kepercayaan individual menjadi kepercayaan kolektif terhadap
pengobatan tradisional ini menjadi satu gejala adanya -istilah Giddens- refleksi kolektif
masyarakat terhadap status sosial pengobatan tradisional dalam kehidupan masyarakat kota
Bandung.
Argumentasi yang mereka gunakan adalah variasi penyakit yang berkembang di zaman
modern ini, tidak hanya bisa ditangani oleh system layanan kesehatan modern. pendekatan
terapi, baik spiritual maupun psikologis, menjadi satu kebutuhan yang mendasar. Dengan
pemikiran seperti ini kebutuhan untuk berkolaborasi antara pengobatan tradisional dengan
pengobatan modern, menjadi satu kebutuhan bagi masyarakat modern saat ini. Dengan kata
lain, perlu ada pelayanan pongabatan yang terintegrasi ( Athar, 1998). Salah satu contoh
Negara asing yang telah mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan pendekatan layanan
kesehatan terintegrasi, yaitu di Negara Chili (Alethea Kraster,2003).
Cermatan Giddens (2001:40) terhadap fenomena tradisi dalam kehidupan modern ini
mengatakan bahwa “ berakhirnya tradisi, tidak berarti bahwa tradisi itu lenyap seperti yang
digunakan oleh para pemikir pencerahan. Sebaliknya, dalam berbagai versi yang berbeda,
tradisi terus berkembang dimana-mana”. Dengan kata lain pengobatan modern menjadi system
pengobatan yang mendominasi sistem pengobatan dinegara modern ini.
DAFTAR PUSTAKA ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Muzaham, Fauzi. 1995. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta:  Salemba
Medika.
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
http//www.islam-usa.com
http//www.naturalmedicine.co.za
http//www.mapuche.nl
BAB IX
Gender dan Kesehatan
Masalah kesehatan masyarakat, terutama di Negara-negara berkembang, pada dasarnya
mengyangkut dua sapek utama. Yang pertama ialah aspek fisik, seperti misalnya tersedianya
sarana kesehatan dan pengobatan penyakit. Sedangkan yang kedua ialah aspek non-fisik yang
menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap
status kesehatan individu maupun masyarakat (Solita Sarwono, 1993: 1).
Hakikatnya, semua makhluk diciptakan berpasangan. Pada manusia misalnya, ada
laki-laki dan perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan martabat yang sama.
Walaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua agar keduanya saling melengkapi.
Namun dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak terjadi perubahan peran dan status atas ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
keduanya, terutama dalam masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan
membudaya dan berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis
kelamin. Oleh karena itu, masalah stereotip, subordinasi, marjinalisasi, beban ganda, dan
kekerasan (terutama terhadap perempuan) seperti pelecehan seksual dan perdagangan perempuan
(trafficking) telah berlangsung lama seperti perjalanan sejarah peradaban manusia.
A. Konsep Gender
Kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti “jenis kelamin” Menurut Onny S.
Prijono (1996: 202), konsep gender dalam wacana ilmu sosial termasuk konsep yang relatif masih
muda.
Konsep gender berkembang sejak tahun 1970-an karena dalam kalangan yang
berkecimpung dengan masalah kaum perempuan, terdapat ketidakpuasan dengan konsep
perempuan dalam pembangunan (woman in development), yang pada dasarnya melihat kaum
perempuan terpisah dari kaum laki-laki.
Konsep ini, kemudian berkembang di masyarakat menjadi salah satu perspektif yang
digunakan untuk menganalisis masalah sosal, termasuk masalah kesehatan. Namun demikian, di
lingkungan masyarakat pada umumnya, masih terdapat sejumlah kesalahpahaman mengenai
konsep ini, sehingga konsep ini dimaknai sama dengan jenis kelamin. Padahal, kedua konsep
tersebut merupakan dua konsep yang berbeda.
Kesalahpahaman terhadap konsep ini, menyebabkan kekeliruhan yang berkepanjangan
dalam proses sosialisasi dan optimatisasi pendidikan gender bagi masyarakat Indonesia. Paling
tidak, kesalahpahaman ini dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kesalahan sikap anggota masyarakat terhadap program perjuangan dan penegakkan
hak-hak perempuan di masyarakat, misalnya menganggap bahwa pendidikan gender ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
sebagai upaya untuk melepaskan kaum perempuan dari tanggung jawabnya sebagai
perempuan.
b. Kesalahan tempat mengenai duduk persoalan kewanitaan dalam konteks
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, misalnya memaksa perempuan untuk
melakukan hal-hal yang tidak diingingkannya.
c. Pencampuradukkan analisis dan kritikan terhadap berbagai konsep gender, yaitu
antara peran gender dengan jenis kelamin.
Hal demikian, dapat menyebabkan prasangka yang kuran menguntungkan bagi
perkembangan dan pemberdayaan perempuan di Indonesia (Sudarma, 2008: 187-188).
B. Mengenal Perspektif Gender
1. Pengertian Gender
Pada awal perkembangannya, kata gender ini tidak dibedakan dari konsep seks,
sehingga terjadi kerancuan pemahaman dan penggunaan konsep gender dan seks di
masyarakat. Dalam memahami konsep gender, harus dibedakan dengan konsep seks.
Konsep yang kedua ini, mengacu pada pengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi atau aspek biologi seseorang, misalnya perbedaan komposisi
kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis
lainnya. Lebih ditegasnya sebagai berikut:
a. Gender: Karena sosial, tidak universal/tidak sama dimana saja, dapat
dipertukarkan, dinamis, berlaku tergantung masa, dan bukan kodrat.
b. Seks: Karena beda biologis, universal/sama dimana saja, tidak dapat
dipertukarkan, statis, sepanjang masa, dan kodrat. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
Di lain pihak, terjadi perkembangan konsep gender. Perkembangan konsep ini,
sebagai akibat ketidakpuasan terhadap konsep dan implikasi praktis dari konsep seks yang
ada di masyarakat. Selama ini, konsep seks kerap memberikan gambaran tentang peran,
status, dan posisi perempuan yang lemah. Padahal adanya sebuah kekeliruhan pemahaman
terhadap makna seks dan peran sosial individu di masyarakat. Dengan alas an seperti ini,
maka sosialisasi dan perkembangan konsep gender menjadi satu kebutuhan yang mendasar.
Menurut Nasaruddin Umar, dengan mengutip  Webster’s New World Dictionary
(2001: 33) mengatakan bahwa gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Prijono (1996: 203)
menegaskan konsep ini merujuk pada pemahaman bahwa identitas, peran, fungsi, pola
perilaku, kegiatan, dan persepsi naik tentang perempuan maupun laki-laki ditentukan oleh
masyarakat dan kebudayaan di mana mereka dilahrikan dan dibesarkan. Dengan demikian,
penggambaran perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan dan buykan
berdasarkan aspek biologis saja. Oleh karena itu, tepat jika dikatakan oleh Mansur Fakih
(1996: 8) bahwa gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi sosial maupun kultural.
Gender bukanlah sebagai kodrat biologis, tetapi gender digunakan untuk
menunjukkan pembagian kerja yang tepat bagi pria dan wanita. Gender adalah
perbedaan-perbedaan sifat wanita dan pria yang tidak hanya mengacu pada perbedaan
biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial budaya. Sehingga menimbulkan nilai-nilai
lain yang berlanjut menjadi nilai umum terhadap jenis tertentu.
Dalam konsep gender dapat dikatakan bahwa sifat dapat dipertukarkan antara sifat
wanita dan pria, berubah dari waktu ke waktu, berbeda dari tempat-tempat lain, dan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
berbeda dari suatu kelas ke kelas lain. Itulah yang dikenal dengan “gender’ (Sudarma,
2008: 188-189).
Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender adalah berbagai tindak ketidakadilan atau diskriminasi yang
bersumber pada keyakinan gender. Diskriminasi berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai tujuan mengurangi atau
menghapus pengakuan, penikmatan atau penggunaan hakhak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, dll oleh perempuan, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.
Gender tidak jadi masalah jika dilakukan secara adil dan menguntungkan kedua
belah pihak, sedangkan gender jadi masalah jika terjadi ketimpangan, satu pihak dirugikan,
satu jenis kelamin dibedakan derajatnya, satu jenis kelamin dianggap tidak mampu, satu
jenis kelamin diperlakukan lebih rendah, satu jenis kelamin mengalami, dan ketidakadilan
gender. Misalnya seorang Ibu di India dengan dua anak kembarnya. Anak laki-laki disusui
oleh ibunya (diberi ASI), sedangkan anak berjenis kelamin perempuan diberi susu botol.
2. Beberapa Perspektif Gender
Feminisme telah menjadi pergerakan lebih dari seabad, secara konstan berubah dan
mengubah bentuknya sendiri, untuk merespons perubahan pada lingkungan dan pergerakan
sosial lainnya yang berinteraksi di dalamnya. Pergerakan modern juga mempengaruhi
dengan karakter internasionalnya. Gagasan dan praktik gencar dikomunikasikan, tetapi ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
perbedaan pada konteks sosial dan politik menghasilkan berbagai macam feminisme yang
berbeda. Beberapa perspektif gender terbagi menjadi 3 teori, yaitu:
Pertama, Teori Fungsionalisme Struktural atau dikenal sebagai teori fungsional,
menurut Mansur Fakih (1996: 80) tidak secara langsung menyinggung masalah perempuan
dalam teorinya. Dalam keyakinan mereka, masyarakat adalah sebuah sistem yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus
mencari keseimbangan dan harmoni, dapat menjelaskan tentang posisi perempuan.
Kendatipun muncul konflik, namun masalah itu hanyalah sebuah dinamika sosial
dalam rangka melestarikan keseimbangan sosial. Oleh karena itu, perbedaan perempuan
dan laki-laki, harus dilihat sebagai satu sistem sosial yang saling mendukung dalam
menjaga keseimbangan sosial dan kelestarian sosial. Namun, teori ini berpendapat bahwa
perempuan harus tinggal di dalam lingkungan rumah tangga karena itu merupakan
pengaturan yang paling baik dan berguna bagi keuntungan masyarakat secara
keseluruhuan.
Menurut Umar (2001: 53) berpendapat bahwa pembagian peran secara seksual
adalah wajar. Suami (ayah) mengambil peran instrumental seperti membantu memelihara
sendi-sendi masyarakat dan keutuhan fisik keluarga dengan jalan menyediakan bahan
makanan, tempat perlindungan, dan menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar.
Sementara istri (ibu) mengambil peran ekspresif seperti membantu mengentalkan
hubungan, memberikan dukungan emosional dan pembinaan kualitas yang menopang
keutuhan keluarga, dan menjamin kelancaran urusan rumah tangga. Oleh karena itu, jika
ada penyimpangan peran sosial yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga tersebut,
dapat menyebabkan adanya ketidakseimbangan dalam keluarga. Teori fungsionalisme
berupaya untuk membangun kesimbangan di dalam sebuah sistem tersebut karena ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
kesimbangan dapat terjadi, jika setiap elemen keluarga (sistem) dapat berfungsi
sebagaimana perannya semula.
Kedua, Teori Konflik. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa dalam susunan di
dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi
merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya.
Laki-laki dalam sejarah masyarakat patriarki adalah orang yang diserahi tugas
untuk mengurus alat-alat produksi, maka laki-laki mempunyai kesempatan untuk
mengumpulkan kekayaan secara berlebihan. Dengan demikian, maka kekuasaan dalam
keluarga, ditentukan oleh laki-laki. Gejala ini, secara tegas diungkapkan oleh Nasaruddin
Umar, bahwa hubungan suami-istri ini tak ubahnya seperti hubungan antara borjuis dengan
proletariat, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Oleh karena itu, menurut
Amal (1998: 89) tidak sedikitpun Feminisme Marxis yang mempersoalkan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah reproduksi (misalnya kehamilan, kelahiran dan mengasuh
anak) dan sekaligus seksualitas perempuan dalam sistem produksi (mode of productions).
Inilah kekhasan prespektif teori konflik dalam memandang masalah perempuan.
Menurut perspektif teori konflik, perempuan merupakan kelas sosial tersendiri
karena pekerjaan yang mereka lakukan, apakah perempuan sebagai istri, anak perempuan,
keponakan perempuan, adik perempuan dari kelas sosial borjuis ataukah mereka itu adalah
perempuan sebagai istri, anak perempuan, keponakan perempuan, adik perempuan dari
kelas sosial proletariat adalah sama sebagai kelas manusia yang bekerja pada sector
domestic yaitu sebagai ibu rumah tangga.
Ketiga Teori psikoanalisis. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund
Freud (1956-1939) yang mengungkapkan bahwa perilaku kepribadian laki-laki dan ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Dalam uraiannya yang
lebih rinci, Freud menjelaskan kepribadian atau tingkah laku seseorang ditentukan oleh
interaksi ketiga struktur, yaitu:
a. id, sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis seseorang sejak lahir, termasuk
nafsu seksualitas dan insting yang cenderung agresif.
b. ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan
agresif dari id.
c. superego, berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian berupaya
mewujudkan kesempurnaan hidup lebih dari sekedar mencari kesenangan dan
kepuasan, superego juga selalu mengingatkan ego agar menjalankan fungsinya
mengontrol id.
Menurut Freud, individu yang normal adalah ketika ketiga struktur tersbut bekerja
secara proporsional. Kalau satu di antaranya lebih dominant maka pribadi yang
bersangkutan akan mengalami masalah. Jika unsure id  lebih dominan, maka individu
tersebut akan terjebak menjadi orang hedonis, sedangkan jika superego  lebih dominan
maka akan menjadi individu yang sangat sulit untuk berkembang, sebab orang seperti ini
akan merasa takut dan bergulat terus-menerus dengan dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, setiap individu akan melewati
berbagai tahap perkembangan psiokoseksual.Secara lebih jelas, dalam teori psiokoanalisis,
Freud menyebutkan ada lima tahap psiokoseksual, sebagai berikut:
a. Tahap kesenangan berada di mulut (oral stage), terjadi sepanjang tahun
pertama seorang bayi. Kesenangan seorang bayi ialah mengisap susu melalui
mulut. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
b. Tahap kesenangan berada di dubur (anal stage), tahun kedua seorang bayi,
memperoleh kesenangan di sekitar dubur yaitu ketika seorang bayi
mengeluarkan kotoran.
c. Tahap seorang anak memperoleh kesenagnan pada saat mulai mkengidentifikasi
alat kelaminnya (phallic stage), yaitu seorang anak memperoleh kesenangan
erotis dari penis bagi anak laki-laki dan klirotis bagi anak perempuan.
d. Tahap remaja (talency stage), yaitu kelanjutan dari tingkat sebelumnya, ketika
kecenderungan erotis ditekan sampai menjelang masa pubertas.
e. Tahap puncak kesenangan pada daerah kemaluan (genital stage), yaitu saat
kematangan seksual seseorang.
Menurut Freud, sejak tahap  phallic, yaitu anak usia antara 3-6 tahun
perkembangan kepribadian anak laki-laki dan anak perempuan mulai berbeda. Perbedaan
ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat
laki-laki dan perempuan. Dalam masa ini, anak mengidentifikasikan diri pada peran dan
atstus dirinya, sebagai seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.
Berdasarkan teori psikoanalisis, laki-laki yang mengalami proses perkembangan
psiokoseksual yang normal akan menjadi maskulin dan perempuan yang perkembangan
psiokoseksualnya normal akan menjadi seorang yang feminim. Dalam proses
pembangunan, kenyataan yang dapay dilihat dalam setiap masyarakat ialah pentingnya
saling ketergantungan serta saling mengisi antara wanita dan pris sebagai warga Negara.
Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan diperlukan peningkatan kualitas wanita
sebagai mitra sejajar pris sesuai dengan kebutuhan akrualisasi wanita. Dalam hal ini penting
dilakukan analisis gender. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
C. Analisis Gender dalam Kesehatan
Mengacu pada pengertian dan perspektif-perspektif gender tersebut, muncul pertanyaan
bagaimana masalah kesehatan dilihat dari perspektif gender ? atau bagaimana pendekatan gender
dalam melihat praktik layanan kesehatan di masyarakat ?
Memahami teknik analisis gender dalam layanan kesehatan ini, setidaknya difokuskan
untuk mengetahui (1) situasi aktual wanita dan pria meliputi peranan, tingkat kesejahteraan,
kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam berbagai unit sosial, budaya dan ekonomi, (2)
pembagian beban kerja wanita dan pria yang meliputi tanggung jawab, curahan tenaga dan curahan
waktu, (3) saling berkaitan, saling ketergantungan dan saling mengisi antara peranan wanita dan
pria khususnya dalam keluarga, dan (4) tingkat akses dan kekuatan kontrol wanita dan pria
terhadap sumber  produktif maupun sumber daya manusia dalam keluarga.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, gender adalah sebuah konstruksi sosial atau tafsir
sosial terhadap peran gender. Namun, masih banyak penafsiran yang berkembang secara tidak adil,
sehingga memberikan tafsiran yang kurang pada tempatnya terhadap masalah-masalah perempuan.
1. Menurut estimasi PBB di tahun 2025 atau 2050, baik di Indonesia maupun di Asia
Tenggara kelompok penduduk usia tua akan lebih banyak dialami oleh kalangan
perempuan.
2. Dua dari tiga wanita di dunia saat ini menderita suatu penyakit yang sangat
melemahkan manusia. Gejala-gejala umum penyakit yang mudah menyebar ini
mencakup anemia kronik, malnutrisi dan kondisi yang sangat lemah.
3. Wanita juga menghadapi ancaman kesehatan reproduktif yang unik. Tingginya angka
penyakit yang dapat divegah, kematian akibat komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, aborsi yang tidak aman, penyakit menl\ular seksual dan kanker pada alat
reproduksi sering dijumpai pada wanita yang miskin dan tidak memiliki akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
4. Di lain pihak, peran reproduktif wanita hanya mendapat perhatian apabila angka
fertilitas cukup tinggi. Akibatnya, satu-satunya pelayanan kesehatan yang sering
diperoleh wanita adalah keluarga berencana, meskipun pelayanan ini lebih menekankan
pada control fertilitas bukan pada peningkatan kesehatan wanita.
5. Dalam praktik layanan kesehatan, masih ada pandangan bahwa ada pekerjaan
perempuan dan pekerjaan laki-laki. Menjadi perawat dan bidan adalah pekerjaan
perempuan dan menjadi dokter merupakan pekerjaan laki-laki. Melaksanakan operasi
merupakan tugas laki-laki, mungkin benar bila disesuaikan dengan situasi, kondisi dan
objek yang dikerjakannya namun, pembagian kerja seperti ini merupakan contoh nyata
dari konstruksi sosial dalam pembagian tugas dalam bidang kesehatan.
6. Dalam penanganan kasus HIV/AIDS merupakan satu misteri kesehatan yang belum
terpecahkan. Penyebab terjangkitnya HIV/AIDS ini sudah begitu banyak diulas dan
dikupas. Namun, demikian, dalam kenyatannya masih banyak anggota masyarakat
yang menyalahkan posisi perempuan sebagai penyebab utama berkembangnya virus
AIDS ini.
Penanganan masalah AIDS ini disutukan pada masalah maraknya prostitusi.
Kelompok orang yang paling tersudutkan dengan isu prostitusi ini yaitu kalangan
perempuan. Sedangkan kaum laki-laki, kurang mendapatkan perhatian yang seimbang
dengan penilaiannya terhadap kaum perempuan.
7. Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya
perbedaan. Misalnya penyakit kardiovaskular ditemukan pada usia lebih tua pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki. Beberapa penyakit misalnya anemia,
gangguan makan, dan gangguan pada otot serta tulang lebih banyak ditemukan pada
perempuan daripada laki-laki. Berbagai penyakit atau gangguan hanya menyerang
perempuan misalnya gangguan kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan kanker
serviks, sementara laki-laki hanya dapat terkena kanker prostat. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net
D. Kesimpulan
Masalah perempuan di Indonesia merupakan masalah yang sangat krusial. Sampai detik
ini, jumlah perempuan miskin, kurang gizi dan tingkat pendidikan yang rendah masih sangat tinggi.
Kondisi seperti ini menyebabkan peran dan posisi perempuan belum dapat dilakukan secara
maksimal. Andai mau bekerja pun, mereka masih menghadapi persepsi-persepsi budaya yang
menyebabkan perkembangan kariernya terhambat.
Oleh karena itu, dibutuhkan ada upaya pemberdayaan terhadap posisi dan status
perempuan di Indonesia saat ini. Melalui pemberdayaan inilah, diharapkan mereka dapat
menampilkan peran dan tanggung jwabnya sesuai dengan potensi dan bakatnya masing-masing.
Daftar Pustaka
Sarwono, Solita. 1997. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. ( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

Daftar Blog Saya

Sample text

Welcome

Hits Counter

Labels

Blogroll

http://www.facebook.com/syahrin.kamil/photos_albums

Labels

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

Social Icons

About Me

Foto Saya
Syahrin Kamil
Lihat profil lengkapku

Followers

Popular Posts

Postingan Populer

Featured Posts

- Copyright © ''Promosi Kesehatan'' -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -